Gemercik hujan samar-samar terdengar di ruang rekaman RRI Bandung. Sore itu, langit begitu kelam, cuaca pun sangat tak mengenakkan; udara dingin dan tanah yang basah bukan kombinasi menyenangkan ketika kita berada di luar rumah. Aku duduk di sofa kantor PRO2 sambil mulai mengaktifkan lagi ponselku yang sejak setengah jam lalu aku airplane. Tiba-tiba ada banyak pesan WhatsApp masuk tak terkendali, dari kakakku.
"Mot, dimana?"
"Mot, Uyut maot" (Uyut meninggal)
"Mot, buruan balik."
Biasanya aku akan
mendengus, "Mat mot mat mot apaan
sih?!" Tapi untuk saat ini aku diam menatap ponsel, di baliknya
kakakku terus membredel layar dengan chat-chat singkat.
"Uyut mana..." Tanyaku tanpa makna, aku pikir uyutku akan
hidup seribu tahun lagi. Uyutku luar biasa tangguh, saksi sejarah perjuangan
bangsa Indonesia yang masih tersisa, dirawat sebaik-baiknya oleh seluruh
anggota keluarga.
Aku berdiri di
teras kantor PRO2, menyudahi telepon singkat dengan kakakku yang saat ini sedang
di Tasik. Konfirmasi yang kudapat mengingatkanku bahwa
uyut juga manusia dan setiap manusia akan merasakan mati. Sedikit kecewa,
ternyata superhero itu gak ada. Tapi banyak bersyukurnya, hidup di usia
sangat tua membalikkan uyut ke kondisi sebagaimana anak balita, mustahil
berbuat apa-apa.
Hingga waktu yang
entah berapa lama, aku sampai di rumah. Pikiranku kosong sepanjang perjalanan
dari RRI. Otakku yang pemikir seolah menemukan bahan segar untuk
berkontemplasi, selama ini berapa puluh kali aku berpikir tentang kemungkinan uyut punya ilmu yang menahannya ‘pergi’..
Sprei kasur dan
beberapa kain dibentangkan menjadi gordeng di sisi kiri rumah. "Wah, baru mau dimandikan"
ujarku dalam hati. Saat itu aku disambut oleh seorang sanak saudara yang aku
panggil om, meskipun tak paham jelas bagaimana silsilah kami. Mungkin harusnya
kupanggil Uwa (paman), atau kakak, atau mungkin aku bibinya. Masuk lewat
garasi, beberapa orang menatapku memasuki ruang tamu, kupikir dalam hati mereka
berkata "Kemana aja nih anak uyutnya
meninggal malah baru pulang." Selalu lah bersyukur Tuhan tidak
mengizinkan kita mendengar kata hati orang lain.
Aku langsung
mencari nenekku ke dapur, saat itu nenek sedang mengatur orang-orang yang akan
masak besar untuk tahlil. "Aneh, ada
yang meninggal malah kayak mau pesta nikahan", batinku komentar lagi. Di raut nenek tampak
rasa letih yang kentara, tapi ia masih selalu senyum. Ah, rasa syukur tadi kadang
berkurang juga saat aku begitu ingin tahu isi pikiran orang lain.
Beberapa orang
tetap melihatku, sampai ketika hendak menaiki anak tangga menuju kamar, sesuatu
menghentikan langkahku. Aku menengok ke ruang tamu.. Oh! Jenazahnya masih disemayamkan di sana. Bodoh. Kenapa tadi tidak mencari
jenazahnya dulu, main masuk ke dapur saja. Padahal ruangan dapur pasti
melintasi sedikit bagian dari ruang tamu. Ah, terlihatlah sudah bagaimana apatisnya aku pada uyut selama ini.
Aku dan kakakku
adalah cucu yang sangat dekat dengan nenek, 6 tahun di Bandung aku tidak pernah
jauh dari beliau. Ya selain karena aku menumpang di rumahnya, nenek juga mempercayakan manajemen kost-kostannya pada kami berdua.
Tapi, aku tidak begitu dekat dengan uyut. Aku sayang, sangat sayang. Tapi
sayang hanya sayangnya saja, tidak dibarengi dengan tindakannya. Uyut
sehari-hari lebih banyak diam di kamar, kadang orang rumah membantunya pindah
ke ruang TV. Bukan untuk nonton, melainkan menyadarkan
uyut bahwa ia masih hidup di alam fana, dimana anggota keluarganya masih hilir
mudik dan sibuk masing-masing.
Uyutku berumur 100 sekian tahun, di hari itu kala
ia meninggalkan kami, orang rumah saling berbeda pendapat tentang tahun berapa
uyut lahir. Beberapa kali juga nisan kayu ditulis ulang karena dianggap salah.
Dan aku hanya bisa terus menerus berpikir.. “Akankah
umurku sepanjang uyut?” “Kalau aku setua itu, pasti aku akan merepotkan orang
setiap hari” “Timbangan amal uyut kayak apa ya kalau waktu hidupnya panjang?”
“Pasti uyut seneng sekarang, gak susah makan atau susah ke air lagi”
Akhirnya, setiap pikiran di kepala berpangkal
pada apa kata hati, “Aku tidak ingin hidup setua itu” keluar sebagai kesimpulan
sekaligus doa. Aku tidak ingin terbaring sepanjang hari, merepotkan anak cucuku
yang mungkin merawat dengan terpaksa. Dua hal yang paling tidak aku sukai dalam
hidup ini sangat bisa terjadi di usia terlampau senja: hopeless dan helpless (tak
ada harapan dan tak berdaya).
Melihat uyut, aku menafakuri banyak hal yang
diwakili sebuah lirik lagu; muda sebelum tua, sehat sebelum sakit, kaya sebelum
miskin, lapang sebelum sempit, hidup sebelum mati. Ketika kita sangat tua,
fisik kita tidak bisa berkompromi untuk beribadah dengan benar. Sholat berdiri
tak mampu, sholat duduk pun kaku, jadinya berbaring lesu. Aku takut, aku takut
ketika tua nanti aku bukannya banyak menabung pahala malah mencicil dosa karna
ibadah tidak sempurna. Aku berdoa setulus hati untuk setiap kelalaian uyut di
hari-harinya, mungkin ada najis yang tertinggal, mungkin ada aurat yang
terlihat, semoga Allah senantiasa mengampuni semuanya. Doa dari keturunan
sholeh-sholehah adalah harta tak ternilai bagi setiap arwah, dan aku akan
selalu ingat untuk mendoakan uyut dan kedua kakekku di setiap kesempatan. Allohummagfirlahum Warhamhum Wa’afihi
Wa’fuanhum. Aamiin Wa Iyyahum.
Bandung, 26 Maret 2017