Book Review: When the Sky is Blooming by Ilana Tan
Satu buku berlalu, muncul buku berikutnya. Mengantre untuk segera dibaca dan dicerna..
Before this, I never felt the need to write reviews for the books I was reading. You can see on my Goodreads account, I may have been happy to rate books, but I never gave reviews. That was until Ilana Tan’s latest masterpiece appeared on my radar and finally landed in my hands this week..![]() |
When the Sky Is Blooming by Ilana Tan |
Ilana Tan adalah author favorite pertamaku, yang ku ‘kenal’ saat SMP dulu. Jalan cerita novelnya tidak pernah biasa, male main character atau pemeran cowoknya selalu digambarkan good looking dan soft spoken, menjawab impian para pembaca wanita yang hopeless romantic sepertiku. Tapi ternyata, sekian ratus buku berlalu, berbagai genre dan trope cerita kubaca, akhirnya menyadarkaku ada hal-hal (dua hal tepatnya) yang ‘kurang’ dari karya Ilana Tan yang terbaru ini.
- Kurang konflik, gak ada klimaks
Seandainya ada konflik seperti kesalahpahaman, kecemburuan, atau apapun yang bisa me-leading cerita lebih naik turun sebelum mengarah ke happy ending mungkin buku ini akan lebih berkesan. Menurutku trope When The Sky is Blooming bisa dibilang semacam ‘forced proximity’ dimana kedua tokoh utama ‘dipaksa’ untuk berinteraksi satu sama lain karena keadaan tertentu. Dan buku-buku dengan trope ini kupikir wajib ada konflik yang dibangun sejak awal dan punya klimaks cerita karena ya itu dia, tiba-tiba jatuh cinta terlalu cliche apalagi memutuskan jadi sepasang suami-istri selamanya.
Contoh novel dengan jalan cerita yang sedikit mirip When the Sky is Blooming adalah novel King of Wrath karya penulis Ana Huang. Bedanya, King of Wrath menceritakan sepasang pria dan wanita yang dipaksa dijodohkan karena urusan bisnis, dimana sejak awal keduanya memicu banyak konflik cerita yang seru. Meskipun pembaca sudah bisa menebak bahwa endingnya mereka akan saling jatuh cinta dan menikah sungguhan, konflik-konflik dan cerita kecemburuan yang nyelip di beberapa chapter tersebut berhasil memberi warna tersendiri untuk keseluruhan plot. Klimaksnya ketika si wanita tak sengaja mendengar percakapan si pria yang berbohong bahwa ia tidak menyukai calon istrinya, lalu si wanita itu memutuskan pergi dari rumah mereka dan membuat si pria sangat menyesal. Hingga di akhir cerita ia terus berusaha mendapatkan kembali calon istrinya itu sampai mereka rujuk dan menikah atas dasar cinta. See? I’m a hopeless romantic and that kind of story bring me tearssss :”)
- POV orang ketiga cenderung dangkal
Menurut opini pribadiku, sudut pandang terbaik untuk novel romance adalah sudut pandang orang pertama dari salah satu atau kedua tokoh utama sekaligus. Mungkin itulah kenapa aku suka banget buku-buku Ana Huang dan Abby Jimenez, karena mereka selalu pakai dual POV untuk si tokoh pria dan juga wanitanya. Jadi sebagai pembaca kita akan dibawa masuk lebih dalam ke pergolakan batin, cara berpikir, emosi positive-negative dan keriuhan suara hati dari si tokoh tersebut. Ini seru banget karena kalau membahas perasaan maka perbincangan dalam diri pelaku peran lebih bising daripada apa yang diutarakan dari mulutnya ke pemeran lain. Sebetulnya buku-buku yang hanya satu sudut pandang juga bisa sangat seru, contohnya karya Christina & Laurent yang rata-rata menulis dari sudut pandang si wanita saja.
Nah, sementara di buku When the Sky is Blooming, Ilana Tan menulis dari POV orang ketiga, dimana pembaca tetap dibawa memahami perasaan kedua tokoh utama plus tokoh-tokoh lain di sekitar mereka namun hanya di permukaan. Ini bukan hal yang baru untuk Ilana Tan mengingat buku-buku sebelumnya juga menggunakan POV orang ketiga (yes aku sudah baca semua. I kid you not I’m her big fan) Tapi mungkin karena ada ratusan novel kubaca sejak terakhir kali Ilana Tan menelurkan buku, aku jadi tidak bisa menahan diri untuk membanding-bandingkan dan menurutku dual POV adalah yang terbaik untuk rom, rom-com, atau young-adult novel! Hehe.
Cukup segitu saja review dariku yang awam di dunia literasi, cuma hobi baca disela-sela hiruk-pikuknya dunia nyata. Semoga literasi Indonesia lebih baik kedepannya. Salam hangat 😉
0 komentar