tengok ke pojok negeri
Hari ini tanggal 17 Agustus, kembali kita diingatkan dengan peristiwa
Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hampir usai satu
hari penuh, dimana jutaan orang memposting ucapan selamat ulang tahun pada
bangsanya. Media sosial ramai dengan foto dan video orang memegang sang saka
dwi warna; bendera merah putih diiringi harapan untuk masa depan, di dunia
nyata tak kalah semarak; masyarakat memasang hiasan khas kemerdekaan sepanjang
jalan, mengadakan lomba-lomba antar warga dengan biaya swadaya, spanduk-spanduk
parpol beserta tokoh yang diusungnya terbentang hampir di setiap sudut perkampungan
penduduk. Sungguh satu hari yang ceria, bukan?
Tak lepas dari perayaan HUT RI, kita pasti ditegur dengan pertanyaan
"Apakah kita sudah benar-benar merdeka?", "Apa arti merdeka
sesungguhnya?", "Apa yang telah kita lakukan untuk mengisi
kemerdekaan?" yang dilontarkan (biasanya) oleh siaran berita televisi,
online maupun cetak. Sekarang mungkin semua orang bisa melontarkan pertanyaan
itu di media sosial miliknya (pertanyaan yang lebih ditujukan pada dirinya
sendiri karena mereka juga sepertinya belum tahu jawabannya). Banyak
postingan-postingan bertema kemerdekaan di media sosial hari ini justru
memprovokasi pengguna media sosial yang lain, begitu mudahnya orang tersulut
untuk saling berbantah-bantahan tentang kondisi perekonomian negara yang
carut-marut, begitu banyak akun menyuarakan pikiran mereka tentang kekacauan
birokrasi, tentang bagaimana problem solving pemerintah yang selalu
tidak tepat dimata mereka, begitu cepat sebuah foto kontroversi tentang sosok
Menteri dan seorang Paskibraka menuai kritikan tajam terkait persyaratan
kewarganegaraan. Kita semua rakyat Indonesia terkadang selalu merasa paling benar dalam berkata, paling tepat dalam beraspirasi. Apabila merdeka adalah
kebebasan mengemukakan pendapat disertai tanggung jawab, maka kita
semua masih jauh dari itu.
Saya sendiri adalah pengguna aktif media sosial, tapi saya sama sekali
tidak tertarik untuk turut membesarkan akun provokatif yang
menyiarkan isu-isu yang belum pasti kebenarannya. Saya tidak
mengikuti akun-akun yang berpotensi mengundang banyak pro-kontra pada kolom
komentarnya, I saw negative vibes everywhere dan saya menghindari apapun
itu yang memojokkan pemerintahan kita. Saya bercita-cita menjadi bagian dari
pemerintahan tertinggi di Negeri ini, dan kita semua tahu yang saat ini
mengurus negara kita bukanlah orang rata-rata, mereka tentu cerdas sarat
prestasi. Kita yang hanya menonton dan berkomentar belum tentu mampu ditempatkan di
jabatan yang sama, atau yang bertingkat-tingkat di bawahnya sekalipun.
Satu hal lagi yang tak pernah luput untuk diliput, ialah kesenjangan Indonesia
di berbagai sudut. 71 tahun Indonesia masih berkutat dengan permasalahan
ekonomi, merdeka dari tangan penjajah masih seperti kerja rodi. Semua aspek
dari pendidikan hingga energi, tidak merata dan hanya pada kota-kota besar
mereka terkonsentrasi. Pernah beberapa kali saya ke pelosok Negeri, dan kau
harus tahu bahwa yang biasa kita lihat di kota dan media sosial sehari-hari
adalah kehidupan yang mungkin tak akan pernah mereka
cicipi. Jangankan gadget, guys, mereka kemana-mana saja tanpa alas kaki..
Sekali waktu saya ke Kepulauan Aru, salah satu kabupaten terluar Indonesia di Provinsi Maluku, di situ dua minggu penuh saya
kesulitan berkomunikasi dengan keluarga,
sinyal telepon seluler hanya sesekali mampir dan tidak lama. Keluarga dan
teman-teman saya khawatir, tapi anehnya saya merasa merdeka. Saya tahan
keinginan untuk membuka media sosial seperti hari-hari biasa saya di kota,
mulai menikmati sekitar, bercengkerama dan mencari tahu apa yang masyarakat
sana impikan. Masyarakat Indonesia di pinggiran, keinginannya tidak aneh-aneh seperti
kita para kaum urban perkotaan, tidak muluk-muluk minta diprioritaskan,
diperhatikan sebentar saja sudah syukur. Setidak-tidaknya kebutuhan WNI yang
perlu dipenuhi pemerintah era sekarang adalah transportasi (penumpang dan
barang), pendidikan, telekomunikasi dan kesehatan. Itu dulu saja, masalah
internet cepat, shopping center, kawasan
industri nanti juga ngikut.
Rumah mereka semi permanen dan kecil |
Selalu say 'hi' kalau bertemu perahu lain :) |
Sejauh yang saya
tahu, pemerintah telah berusaha merencanakan yang terbaik, masalahnya adalah
begitu panjang proses yang harus dilalui sampai rencana-rencana itu dieksekusi.
Kebetulan di Kepulauan Aru saya berkepentingan merencanakan pelabuhan, dengan
mata telanjang saja kita yang baru sampai akan tahu kebutuhan transportasi laut
begitu mendesak di sana. Saya ngobrol dengan warga, ditanya kapan pelabuhan
baru akan dibangun saya sama sekali tidak punya jawaban. Proses dari penentuan
lokasi hingga pengukuran fasilitas-fasilitas pelabuhan bisa jadi
bertahun-tahun. Kalau saya menganalisis kelayakan lokasi rencana pelabuhan
untuk 5 tahun ke depan, apakah di akhir tahun ke-5 kita masih yakin bahwa
kondisi alam sekitarnya sama? Pasti akan ada keragu-raguan, lalu akan diusulkan
analisis ulang, begitu terus sampai berganti-ganti era pemerintahan tidak ada
satu pelabuhan pun yang tiang pancangnya mulai berdiri. Kalau saja prosedurnya
tim ahli bisa langsung presentasi di depan Menteri, kemarin itu saya ingin
bilang “Pak, mereka bukan tidak butuh pelabuhan besar, tapi kalau itu perlu
waktu sangat lama cukup bangun dulu saja dermaga beton agar mereka tambatkan
disana perahu-perahu untuk mencari ikan dan bepergian..”
Berjalan jauh untuk mengambil air bersih |
Selang beberapa
bulan setelah dari Aru, Allah memberikan saya kesempatan lagi menengok ke
pelosok negeri ini. Berangkat saya ke Pulau Timor, dimana lokasi Kota Kupang
berada. Selama dua minggu juga saya long
trip ke semua kabupaten yang ada di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Berpindah-pindah hotel, berganti-ganti suasana dan mendapat perlakuan
berbeda-beda dari warga. Dari keseluruhan perjalanan, saya menyadari Indonesia
ini begitu timpang, alamnya saja dinamis; di Bandung waktu itu hujan terus, di
sana malah sudah 1 tahun tak kunjung ada gerimis, kabupaten yang bersebelahan
saja bisa satu kemarau satu banjir, bisa bersuhu sangat panas dan sangat
dingin, bisa sangat maju dan sebelahnya sangat miskin. Kita diciptakan beragam
karena alamnya juga tidak ada yang kembaran, bersyukurlah kalian yang hidupnya
tidak pernah kekurangan.
Di Pulau Timor,
saya ditugaskan mengidentifikasi infrastruktur Kementerian PU-PR, salah satunya
adalah permukiman perbatasan negara. Adalah Kab. Kupang, Kab. Timor Tengah
Utara, Kab. Belu dan Kab. Malaka yang berbatasan langsung dengan negara Timor
Leste atau yang orangtua kita sebut Timor-Timor. Timor Leste dulunya adalah
bagian dari NKRI, tetapi kemudian mereka memilih ‘memerdekakan’ diri di luar
kedaulatan negara kita. Tahukah kalian bagaimana Timor Leste kini? Pembangunan
daerahnya tergolong pesat dan masyarakatnya berada pada taraf ekonomi sejahtera.
Dan apa yang saya temui di permukiman perbatasan? Di Motaain Kab. Belu, anak-anak
pribumi banyak yang menjadi buruh bangunan dan kuli angkut barang. Mereka berlarian
menghampiri bus yang membawa WN Timor Leste (memang hingga saat ini banyak WN
Timor Leste yang bolak-balik Indonesia untuk kuliah, kerja atau sekedar belanja).
Bus itu berhenti di dekat gerbang perbatasan Indonesia, sementara jaraknya ke
gerbang masuk Timor Leste sekitar 300 meter, maka anak-anak Indonesia menawarkan
diri mengangkut barang-barang orang Timor Leste dengan bayaran tak seberapa. Batin
saya terjajah saat melihat itu, di depan mata saya putera-puteri bangsa kita
harus memohon pekerjaan pada warga asing. Padahal kulit mereka sama, wajah
mereka serupa, berkomunikasi dengan bahasa yang sama, mereka memang serumpun
dan terlihat seperti saudara, pembedanya adalah isi dompet dan busana.
Gerbang Perbatasan Indonesia |
Tugu Depan Gerbang Perbatasan Timor Leste |
Kembali ke Bandung
dengan segudang renungan, saya bertekad ikut andil dalam pemerataan
pembangunan. 17 Agustus tahun ini pun saya teringat saudara-saudara di pojok Indonesia,
“Mereka ngerayain gak ya?” “Mereka tahu gak hari ini Hari Kemerdekaan?”
mengingat televisi bahkan kalender saja mereka tidak punya, sepertinya euphoria 17-an hanya masyarakat urban saja yang rasa. Jika semangat cinta
Tanah Air timbul dari kemakmuran, maka mereka yang masih bangga lahir di sini
adalah setulus-tulusnya bela negara. Kalau kita hidup di kampung terisolir,
sulit air dan serba kekurangan apa kita tidak berharap untuk pindah ke luar
negeri dan membenci Indonesia ini? Saya pikir saya akan begitu. Sekarang ketidakadilan
tersebut sedikit terobati oleh program-program dari pemerintah maupun pemuda-pemudi
solutif yang mengajak para guru dan tim medis untuk rela ditempatkan di
daerah-daerah terpencil guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat akan
pendidikan dan kesehatan. Penghormatan tertinggi saya pada mereka yang dengan
ikhlas menawarkan diri.
Saya tidak berniat
untuk memaksa siapapun mengikuti pola pikir dan sudut pandang saya, setiap
tulisan saya murni adalah curahan hati dan pikiran saya saat ini. Sukur-sukur kalau
tulisan kali ini bisa menginspirasi dan mengingatkan semua pembaca bahwa
Indonesia bukan Pulau Jawa dan Bali saja, sangat luas dan terlalu luas untuk
diurusi hanya oleh pemerintahnya. Kita warga sipil harus mulai berpikir
bagaimana memajukan negeri ini bersama-sama. Tengok ke pojok negeri, di sana
banyak pelajaran berharga..
0 komentar