Weda, kota seuprit di pulau K kecil

by - August 29, 2017

Part 1
Suara pengumuman membangunkanku dari tidur yang tanggung, belum 15 menit rasanya saat terakhir kali aku melihat keluar jendela. Bintang-bintang terasa sangat dekat di ketinggian 20 ribu kaki, awan tebal bergulung membentuk ombak-ombak seperti di lautan. Aku tak akan pernah bosan melihat ini, lain kali jika harus bepergian jauh lagi akan kuingat untuk selalu mengambil penerbangan dini hari.
Gamalama Mountain from the altitude
Temanku di kursi sebelah masih terlelap, lehernya seperti mau patah karena tertunduk ke depan. Memang cukup melelahkan harus menempuh perjalanan dari Bandung ke Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng saat sore hari, macetnya luar biasa, belum lagi perasaan takut ketinggalan pesawat. Monitor di depan kursi temanku menunjukkan waktu tiba pesawat sekitar 10 menit lagi, sementara layar monitorku masih memampang playlist Coldplay yang tadi sempat kudengarkan lewat headset.
Garuda Indonesia Lounge at Terminal 3
Bandara Sultan Babullah Ternate.. tulisan yang pertama kali terbaca saat menuruni tangga pesawat menuju bis jemputan. Huh, badanku kaku sekali, sakit di telinga karena perbedaan tekanan udara di pesawatpun belum juga hilang, dan dari bandara ini, masih ada perjalanan selama setengah hari yang harus aku dan temanku tempuh.
Bandara Sultan Babullah TTE
Kami menunggu di bandara selama lebih dari 3 jam sebelum akhirnya temanku datang menjemput. ‘Pahala silaturahmi kan gede, gak apa-apalah sabar dikit belum tentu bisa kesini lagi’ kataku mencoba tidak terlihat gemas karena aku sangat benci menunggu. Pukul 12 siang aku sudah duduk manis di speedboat di Pelabuhan Mangga Dua Ternate, penyeberangan ini akan membawaku ke Sofifi, di Sofifi kami perlu mengunjungi kantor Gubernur dan setelahnya ada perjalanan darat lagi hingga sampai ke kota tujuan. Darat, laut, udara? Hajar aja.
“Gila, sepi amat!” adalah kalimat refleks dari mulut temanku saat kami keluar dari jalanan berpagar hutan dan mulai memasuki wilayah permukiman penduduk.
“Ini beneran udah kotanya, Pak?” aku bertanya pada Pak Jufri Con, supir travel yang kami sewa untuk menjemput kami dari Pelabuhan Sofifi menuju kota tujuan ini.
“Iya, ini su sampai Weda, Bu” balas Pak Jufri sambil lagi-lagi membunyikan klakson untuk ‘permisi’ pada yang katanya penunggu ruas jalan tersebut. Hampir 3,5 jam perjalanan Sofifi-Weda, aku tidak bisa tidur karena pak supir ini kerap membunyikan klakson mobil setiap beberapa menit. Padahal jalanan sepi, hanya beberapa kendaraan lain yang berpapasan dengan kami, itu pun tidak mengganggu karena badan jalan selebar 10 meter masih muat untuk kita jalan masing-masing.
“Ya sudah, cari tempat makan baru langsung cari hotel, ya, Pak”
“Hotel di sini tutup, Bu, tapi ada 3 penginapan. Nanti saya antar buat pilih. Kemarin Pak Jokowi ke sini hotel yang tutup dipaksa dibuka padahal belom selesai itu dibangunnya” Pak Jufri terus bercerita, sementara aku terus melihat ke luar jendela dan menelan sebanyak-banyaknya alasan untuk bisa betah di kota ini..
Kota Weda, ibukota Kabupaten Halmahera Tengah, dimana aku akan settle down selama kurang lebih 10 hari untuk menjalankan kewajibanku mensurvey pelabuhan-pelabuhan di kabupaten ini. First impression untuk Kota Weda, sama seperti yang temanku bilang tadi, ‘sepi’ pake ‘amat’ karena memang teramat sepi. Hanya saja aku selalu ingat, orang Maluku itu baik-baik dan senang membantu, maka aku kesampingkan imajinasi soal kota-kota sepi yang berhantu. Lagipula, kami bisa bilang itu sepi karena kami dari Bandung, dari ekosistem megapolitan yang jelas bukan tandingan Weda, coba saja aku tinggal di Entikong, Weda pasti rame menurutku.
Pusat kota Weda

Pukul 7 malam di Indonesia bagian Timur terasa seperti pukul 5 sore di Indonesia Barat, hari masih cukup terang dan aku sudah melempar diri di kasur kamar hotelku yang teramat sederhana pula. Kerap kali pergi jauh dari rumah untuk berkarya (bukan bekerja), mengajariku untuk tidak mengeluh di berbagai situasi. Mengeluh pada sesama rekan kerja? Tentunya bukan solusi, karena seperti semangat, pesimisme pun menular. Apalagi teman se-tim ku ini baru pertama kali terjun di dunia kepelabuhan, so I composed myself and tryna to be what a leader supposed to be.
“Ben, jangan dulu tidur kita briefing dulu bentar” ucapku lewat vioce note Line. Thank goodness there was a 4G signal! Hampir tiap tahun menjajal pedalaman negeri, jarang sekali yang aku kunjungi sudah memiliki sinyal internet atau bahkan telepon. Mungkin karena pulau K kecil ini (Halmahera) bersebelahan dengan Raja Ampat yang infrastruktur telekomunikasinya sudah berstandar internasional, sehingga Kota Weda sedikit sibuk dengan orang-orang yang sudah punya akun media sosial.
Benny; teman se-tim ku, sekaligus teman kuliah dan sahabat se-geng ku sudah duduk di ruang makan sekaligus pavillion hotel saat aku keluar kamar. “Kamar urang loba reungit pisan ih geus make AC ge!” (Kamar banyak nyamuk banget sih udah pake AC juga!) sambutnya ketika aku duduk sambil menebar kertas-kertas survey design dan surat tugas. “Minum obat kina bisi nyamuk malaria” sahutku asal, padahal aku pun lupa belum minum pil pahit itu sebelum berangkat.
Hingga penghuni hotel yang lain kembali ke kamar masing-masing untuk tidur, aku menyudahi briefing dengan serentet jadwal di kepala. Mengatur kegiatan selama di Weda seefisien mungkin agar kami bisa cepat pulang. 2500 KM jarak aku dan rumah hari itu, harus kubayar dengan hasil kerja yang (semoga) membawa perubahan yang lebih baik, meninggalkan jejak yang berguna, mengambil pelajaran yang berharga. Semoga karyaku jadi amal jariyah, yang tidak putus-putus selamanya..
“Okey, besok kita mulai!” dengan itu aku kembali ke kamar dan bersiap untuk petualangan esok hari.


You May Also Like

0 komentar

Popular Posts