impian, kenapa datang 29 hari lebih cepat

by - June 10, 2011


Siang itu, 1 Juni 2011, untuk terakhir kalinya kupandangi ruang kelas 9c SMPN 22 Bandung yang menjadi tempatku mengikuti SNMPTN. Pasrah bertemu penyesalan, satu per satu anak tangga kujajaki menuju gerbang utama sekolah dengan sisa-sisa semangat menggantung. Di dalamnya, meskipun masih ada rentangan garis optimis, separuh nafasku masih tercekat-cekat membayangkan hasil apa yang akan aku peroleh di tengah malam tanggal 30 Juni nanti.
Hari itu kuputuskan langsung pulang, tak ada lagi jiwa muda, tak musim lagi refreshing dan hasrat bertualang yang biasa aku punya. Semua ini benar-benar membuat lelah, bukan perjuangannya, tapi justru ketidakmampuannya, tes hari kedua membuat optimismeku menurun drastis walaupun belum pada tingkat pesimistis, aku pun tak berani lagi untuk sekedar bercita-cita menjadi mahasiswi Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB 2011. Mungkinkah ini terjadi pada kebanyakan peserta? Ataukah aku memang selalu jadi minoritas seperti biasanya? Lalu seiring atap kota yang meneduh, kurebahkan diri untuk sejenak meluluhkan letih dan menelan pahitnya hari. Sampai beberapa puluh menit kemudian aku harus terhentak bangun karena mengingat sesuatu... Ya Tuhan, aku lupa mengisi kode naskah soal SNMPTN tadi!!! Rasa panik menjalar tidak karu-karuan, ketika itu aku merasa jadi orang paling ceroboh di dunia! Meskipun ternyata, Tuhan menyimpan rencana lain di balik kacaunya hari itu…
Tanpa pikir panjang kutelepon Panlok SNMPTN 2011 di nomor 022-2511999;
“Selamat siang, dengan Panitia Lokal SNMPTN 2011! Ada yang bisa kami bantu?”
“Mas, tolong Mas, saya Isma, tadi saya ikut SNMPTN jurusan IPA di ruang 3 SMPN 22 Bandung, terus kayaknya saya lupa ngisi naskah soal, deh!”
“Oh, naskah soal ya…”
“Iya iya, saya musti gimana ya, Mas?”
“Kami akan melayani Anda kalau Anda datang ke sini membawa kartu peserta SNMPTN”
“Ke sini kemana?”
“Gedung Labtek V Institut Teknologi Bandung”
“Tapi sudah sore, Mas! Hujan gede lagi! Bisa nunggu saya sebentar? ITB-nya yang di Balubur atau yang di Bonbin?”
“Baik, kami tunggu Anda secepatnya, ITB yang dekat Kebun Binatang ya, tanya satpam saja nanti minta antar ke Labtek V”
….Berat rasanya beranjak dari tempat senyaman kasurku untuk kemudian menembus derasnya hujan di luar jendela. Tapi jika tidak, semua pengorbananku selama sebulan akan bernilai nol besar bahkan tanpa proses!
“Pak, Gedung Labtek V itu sebelah mana, ya?”
Coba Mbak lihat ke sana, luruskan pandangannya, ada dua gedung kembar yang atasnya runcing, kan? Nah, Labtek V itu tepat di depannya
Tanpa pikir panjang aku berjalan menuju tempat yang satpam itu maksudkan, ternyata cukup jauh dari gerbang utama, anehnya aku merasa semakin jauh semakin bagus. Empat-lima pasang mata menatapku asing, tapi siapa peduli, aku yakin tidak ada yang berani bertanya siapa aku saat itu.
Semilir angin mengeringkan switerku yang basah, hujan deras telah berganti gerimis merincik, aku pun terus berjalan lambat-lambat, menuruni tangga batu, melewati taman kecil bertuliskan “Assembly Point/Tempat Berkumpul” yang disertai nomor telepon emergency. Kuedarkan pandangan di antara rerintikan sore itu, ada tempat parkir sepeda di sebrang gedung PLN dengan tiga ekor anak kucing tengah berteduh di bawahnya, ada juga sekelompok besar mahasiswa duduk berkumpul membentuk lingkaran di pelataran gedung Teknik Planologi. Kuturuni tangga batu terakhir sebelum sampai di gedung kembar yang satpam tadi tunjukkan, dua gedung kuno menyerupai rumah adat Padang dengan pipa paralon merah saling terhubung di atasnya dan huruf-huruf silver yang bertengger di depannya bertuliskan nama Ahmad Bakrie dan Yusuf Panigoro.
Tulisan gedung Labtek V terlihat semakin jelas dihiasi beberapa orang berteman laptop di bawahnya. Aku masuk ke koridor panjang yang dindingnya dihiasi batu bulat-bulat sebelum bertemu seorang pria berkemeja biru langit dengan dasi sepadan dan sepatu pantopel hitam mengkilat, usianya sekitar 54 tahun dan terlihat sangat berwibawa, mungkin seorang dosen, “Pak, saya mau ke panitia SNMPTN”, “Itu, Dk” jawabnya singkat. Sesaat aku kembali merasa jadi orang bodoh saat bapak itu menunjuk ke arah spanduk bertuliskan “Panitia Lokal SNMPTN 2011” dengan tanda panah menuju sebuah pintu besar yang ternyata sangat dekat dari tempatku berdiri saat itu.
“Selamat sore, Mbak, saya tadi lupa ngisi kode naskah soal”
“Oh iya, silahkan duduk! Untung Adik kesini, bisa sia-sia nanti kerja keras Adik kalau lupa diisi, soalnya kami tidak menjamin ngecek satu-satu kan, ya. Mau masuk PTN mana, nih?”
“Pengennya ke sini, Mbak, tapi yah gak tahu lah, tadi gak maksimal soalnya…”
“Jangan gitu, Dik. Soal SNMPTN itu dibuat untuk diakali, bukan untuk dikerjakan full!”
“Tapi tetap mengacu pada passing grade di atas 50% kan, Mbak”
“Pokoknya tenang aja, sekarang serahkan saja sama Yang di Atas, ya”
“Terimakasih banyak, Mbak, saya undur diri dulu, udah mau malem…”
“Sama-sama, Dik. Nanti Mbak cek pas ospekan harus ada, ya! Semangat!”
Sedikit senyuman dari mbak-mbak cantik itu mengakhiri obrolan kami, setelah menyelesaikan urusan kode naskah itu aku keluar ruangan dengan semangat yang sebenarnya tidak bertambah banyak. Optimismeku sudah sulit untuk dipompa bahkan disetrum sekalipun.
Baru terasa tenggorokanku tercekik kehausan, aku pun berbelok menuju sebuah coffe break outdoor bernama Coffe Toffee. Ditemani langit Bandung yang memerah dan segelas Blueberry Chocó Milk dalam genggaman aku berjalan ke arah sebaliknya saat aku datang, sengaja berkeliling melihat beberapa gedung fakultas dan oktagon yang keseluruhannya berarsitektur unik sebelum akhirnya kumandang adzan maghrib memaksaku untuk cepat menemukan gerbang keluar.
“Saat untuk pertama kalinya harus datang ke sana, saat untuk sekali-kalinya aku merasakan mimpi begitu nyata, meskipun masih sebatas harapan, setidaknya aku tahu bagaimana wujudnya kampus impian itu… Cepatlah datang keajaiban, cepatlah datang 30 Juni...”

You May Also Like

0 komentar

Popular Posts