Belum 12 jam kita bersama.. So much love for you, baby kitty.

by - September 04, 2014

Hal yang sama yang selalu terjadi acap kali aku akan menulis adalah, aku bingung bagaimana memulai tulisan ini; Kata apa dulu? Kalimat yang seperti apa dulu? Selalu begitu. Seperti sore yang random ini, aku tidak tahu harus memulai dari menuliskan kata apa. Yang pasti, kisahnya bergulir lebih dari setahun yang lalu.. Diiringi alunan lagu-lagu Dygta dan Kahitna, gaya tulisan kali ini akan terbawa sedikit melankolis..

Minggu, 18 Agustus 2013, sekitar pukul 12 siang
Lokasi: Pasar Gegerkalong, Bandung

Mentari Bandung biasanya tak sesengit ini, betapapun dia tengah di musim pancaroba. Berjalan di ruang terbuka bak menapaki panggangan pizza, apalagi kalau harus duduk-duduk di bangku lapangan bola, aku yakin panas siang ini akan menembus segala macam tabir surya. Aku dan Thossan (pacarku, -red.) berniat langsung pulang setelah menghadiri sebuah acara, sebelum ke rumah kami mampir ke Pasar Gegerkalong atau Pasar Gerlong di daerah Setiabudhi Bandung. Jarang-jarang kami ke sini, mungkin ini baru yang ke-2 kalinya kami jajan ke pasar, aku sedang ingin sekali ngemil Gurilem, snack reject pedas yang biasanya dijual kiloan.

Sesampai di parkiran pasar, kami lari jinjit-jinjit menuju jongko terdekat untuk berteduh. Panasnya minta ampun, botol air mineral di tanganku terasa menghangat seketika seperti dimasak lagi. Orang-orang di pasar tidak ada yang berwajah normal, semuanya mengernyitkan dahi tak kuasa matanya terpapar sinar ajaib dari langit. Kurang dari 10 menit aku selesai menjinjing setengah kilo Gurilem yang akan aku makan dan bagikan pada teman-temanku. Saat terburu-buru kembali ke parkiran, Thossan menghentikan langkahku, dia tidak peduli aku kesal karena harus berhenti di bawah tempat yang panas, seperti dia yakin aku akan tertarik pada apa yang mengehentikan langkahnya sebelumnya. Dan benar saja, aku terdiam juga di situ, Thossan telah menunjukkanku sebuah kardus yang berisi... bayi kucing.

Thossan benci kucing selamanya, awal pacaran dulu lebih parah lagi, dia seperti phobia. Kucing sedang tidur saja dia kabur, kucing jalan kaki di kejauhan dia yang lari masuk rumah. Sekarang sudah mending, dia tidak begitu kaget lihat kucing, biasanya kalau dia kaget kucingnya juga ikut kaget dan keduanya lari tunggang-langgang ke arah berlawanan. Kucing seperti menemui musuhnya di Bumi, dialah Thossan. Sekarang Thossan mulai tahu kelucuan kucing, aku suka gendong kucing didekatnya karena aku sangat-sangat menyukai hewan manis ini. Berbalik dengan Thossan, aku malah sudah jadi anggota Komunitas Pecinta Kucing Bandung dari sejak sebelum kami jadian.

Sekelebat angin bercampur debu pasar menyapu pipiku, tak sadar untuk beberapa detik lamanya aku tidak berkedip sampai debu-debu itu masuk ke mataku dan membuatnya perih. Aku bingung, kasihan kalau kucingnya ditinggal, tapi juga tidak mungkin mengurusnya di rumah karena nenek tidak akan suka. Nenek punya kejengkelan yang lumayan banyak pada seluruh kucing, seringkali kucing-kucing kelaparan di komplek permukiman padat mencuri makanan manusia dari dapurnya. Tapi baby kucing yang Thossan temukan ini umurnya pasti belum 2 hari, bulunya masih menempel pertanda kulitnya lengket karena air ketuban, badannya belum tegak karena tulangnya masih lembek, dan induk kucing tak akan mungkin memasukkan anaknya ke dalam kardus lalu menyimpannya di tengah parkiran pasar! Ini pasti ulah manusia!

Kucing itu menggulung di dalam kardus mie, entah kedinginan atau yang pasti sih melindungi diri dari panas matahari. Aku tarik kardus itu ke tempat yang teduh, tega nian awak ni membuang bayi kucing telanjang tanpa dilapisi kain untuk selimutnya. Orang sekitar pasar mulai menyadari keberadaan kami, beberapa dari mereka (yang aku yakin adalah tukang ojek) menghampiri dan menyarankan kami membawanya.

"Bawa aja, Neng, kasihan dari Shubuh, kayaknya cacat jadi di buang sama yang punyanya."
"Cacat?"

Selidik punya selidik, ternyata kitten itu bermata satu! Oh God why.. malang sekali hidupnya. Pantas aku bingung kenapa ada yang tega membuang anak kucing suci ini, ternyata dia cacat, mungkin yang membuangnya adalah seorang penjual kucing yang berpikir dia tidak akan punya nilai jual. Aku pun semakin iba, sepertinya akan menjadi dosa besar kalau meninggalkan pasar tanpa mengikutsertakannya.

"Mau dibawa enggak? Kalo mau ayo, kalo enggak juga ayo"

Thossan mulai jengah dengan ketidakjelasan ini, membuatku tak pikir panjang lagi untuk membuat keputusan.

Minggu 18 Agustus 2013, pukul 4 sore
Lokasi: Gegerkalong Girang 36, Bandung

Aku kembali ke kamar membawa secangkir kecil susu full cream, berharap kucingnya mau minum sedikit, karena pasti dia belum sempat makan apa-apa lagi semenjak dibuang si Bajingan. Aku mengganti kardusnya dengan kotak sepatuku yang bersih, aku kasih baju tidurku untuk selimutnya, aku rawat sepenuh hati karena pikirku dia sekarat dijemur seharian begitu. Oh bagaimana keadaannya terpapar cahaya matahari yang luar biasa tadi.. Thossan hanya tersenyum menatapku, dia tahu aku senang menolong kucing ini meskipun kami menyembunyikannya dari nenek. Tapi dia ngoceh juga "Kalo mau dibawa kenapa gak dari tadi, malah bengong di pasar", keluhnya. Rencanaku hanya akan menolong kucing ini sampai dia cukup kuat, lalu aku lepas di dekat rumah biar dia bisa balik lagi atau mampir-mampir kalau lapar. Kakakku juga suka kucing, berarti hanya harus menjaga nenek agar tetap tidak tahu. Aku kepikiran membawa kucing ini ke dokter hewan, takutnya dia dehidrasi atau terkena bakteri pasar, lalu aku browsing dan tanya-tanya ke Komunitas Pecinta Kucing Bandung di group BBM. Aku ngobrol banyak cara merawat baby kitty yang baru 2 harian ini

Sehabis sholat Maghrib, aku kembali menengok kucing itu, lama-lama aku kesal juga menunggu dia bereaksi, pengennya dia langsung lari saja segar bugar. Tapi melihat kaki-kaki kecilnya bergerak aku pun sudah sangat senang. Sepertinya dia mulai pulih, beberapa kali kulihat kepalanya bergerak, bahkan saat kuelus-elus dia menengadah, mencari tahu tangan siapa yang menolongnya. Aku terharu, bulir air mataku terjun tepat di punggungnya, dia mengernyit, astaga apakah sentuhan seperti itu saja membuatnya sakit? Mata kami sempat bertatapan, aku merasa dia mengucapkan terimakasih padaku, aku lari menghampiri Thossan yang cuek menonton TV, siapa tahu baby kitty juga mau mengenalnya, dan benar saja, kucing itu menatap Thossan juga.

Kejadian tak terduga terjadi beberapa menit setelah aku mengembalikannya ke kardus yang empuk, aku suapin susu lagi lalu pergi menonton TV. Anehnya pikiranku tidak bisa fokus pada layar kaca, aku cepat-cepat menengok kucing itu lagi dan.... dia mati. Awalnya aku tak yakin, aku buru-buru mengontak temanku sesama pecinta kucing, dia memberitahuku ciri-ciri kucing mati. Tapi aku masih tidak percaya, aku bolak-balikkan badannya karena gemas, kupencet-pencet perutnya berharap dia bersuara seperti tadi, kuamati perutnya yang tak tampak lagi kembang-kempis nafas seperti sebelumnya. Lalu ada kutu lompat ke tanganku, sekuat tenaga aku kibas-kibaskan karena tahu kutu kucing itu bahaya buat cewek, ada beberapa kutu di kardus, aku BBM lagi temanku dan dia meyakinkan aku kalau kucingnya sudah mati..

"Oh kalau sudah keluar kutu itu pasti mati, kutu akan meninggalkan badan kucing kalau aliran darahnya sudah berhenti, sudah mati"

Aku menjerit lalu nangis sesegukan, aku sedih dan kehilangan, belum 12 jam kami bersama, dia sudah main pergi-pergi aja.. Thossan berusaha menenangkanku, kalau nangis keras-keras bisajadi nenekku dengar, tapi aku tak kuasa untuk melihat baby kucing lucu itu mati, meskipun dia menatap kita dengan satu matanya saja, tapi aku sudah terlanjur sayang padanya. Aku meredam tangisanku dengan bantal, entah bagaimana mukaku saat nangis seperti itu, jelek sekali pasti, untuk Thossan tidak menghiraukannya, dia terus menenangkan aku, memberi quotes-quotes motivasi agar aku merelakan kucingnya tenang dan kembali ke surga.

Hampir satu jam aku merintih pilu di dekap dadanya, kasihan juga kaosnya penuh air mata dan ingus, aku bangkit dan meraih ponselku, di situ ada pesan dari si mbak-mbak pecinta kucing, katanya cepat kubur sebelum bau atau bakterinya pindah ke sekitar kami. Aku bengong lagi, baru kepikiran bagaimana caranya ngubur kucing malam-malam. Di dekat rumah tidak ada lapangan atau ruang terbuka apapun yang beralas tanah, masa iya di pot bunga? Satu-satunya yang masih memiliki tanah di lingkungan rumahku adalah pot bunga, selebihnya merupakan perkerasan cor dan beton. Kali ini Thossan yang kerepotan, dia memutar otak mencari tempat yang kira-kira bisa dijadikan kuburan kucing, karena kalau dibuang ke sungai dekat rumah tidak mungkin, kami tidak akan tega. Dia kepikiran di Cimahi, aku sontak nangis lagi, gak mau megang kardus kucing ini sampai sejauh itu. Segala macam alternatif lokasi sudah kami pikirkan, tapi kendala utamanya adalah satu, kami tidak punya cangkul.

Minggu 18 Agustus 2013, pukul 11 malam
Lokasi: Jalan Gunungbatu, Bandung

2 Jam terasa begitu panjang, aku mengontak beberapa teman SMA-ku tapi mereka anak kost biasa yang mana mungkin punya cangkul dan tak berani mencangkul halaman kosannya karena takut diusir. Kegusaran berakhir sampai akhirnya aku buka BBM dan menemukan teman kuliah kami, Insan, nongol di Recent Update. Aku tahu Insan lah orangnya yang bisa membatu kami, dia punya banyak kucing mahal-mahal, setidaknya dia pasti care soal kucing mati. Yang paling penting adalah aku tahu dia belum tidur, aku segera menghubunginya, kukeluarkan segala macam jurus memohon agar dia mau membantu.

Tak lama kemudian aku, Thossan dan si kardus putih malang sudah berada di daerah Gunungbatu, lumayan jauh dari rumahku dan udara membalik segalanya menjadi dingin menusuk. Insan sedikit terperanjat melihat mukaku yang sembab, barulah dia percaya betapa sedihnya aku. Dia lalu membawaku ke tempat teman-temannya, meskipun kami sekelas, Insan 2 tahun lebih tua di atasku dan teman-temannya lebih tua dari Insan. Dia mengenalkan aku dan Thossan, awalnya aku malu, tapi ternyata mereka semua pecinta kucing dan juga punya kisah tentang kematian kucing.

Tanpa pikir panjang aku dan beberapa teman Insan yang sudah membawa cangkul berjalan ke sebuah gang, katanya kita akan kuburkan baby kitty di kebun warga. Suasana sepi sekali, ya karena sudah larut malam. Proses pemakamannya tidak memakan banyak waktu, sekitar 5 menit saja kardus putih itu sudah tertimbun tanah yang gembur. My God.. Hari yang sangat panjang untukku.

Setelah mengucapkan beribu terimakasih pada Insan dan teman-temannya, aku dan Thossan pulang. Doa kami mengalir sepanjang jalan dari Gunungbatu sampai Setiabudhi, dari Pasar Gegerkalong sampai rumahku, dari dunia fana ini sampai surga-Mu.

Sebagian foto-foto dari hariku yang panjang:



"Tidak peduli apa agama kita, setinggi apa pendidikan kita, seperti apa latar belakang keluarga kita, bagiku orang paling hebat adalah yang sadar dan mengerti betul bahwa Bumi ini bukan hanya tempat tinggal untuk manusia" - +Isma Hanifa Ma'ruf 

You May Also Like

0 komentar

Popular Posts