Trimester 3: He's Finally Here
I’m finally become a mom..
My husband and I will start a new life as a
parents from now on..
Kami melalui perjalanan panjang sampai akhirnya
bisa menimang makhluk kecil nan menggemaskan ini. Perjalanan yang akan kami
kenang sepanjang hayat, keputusan-keputusan yang kami buat akan menjadi bekal
pendewasaan setiap saat. Dan untukku pribadi, aku tidak akan lagi membedakan
wanita yang melahirkan secara pervaginam maupun caesar, keduanya menurutku sama-sama
‘normal’.
15 Maret 2021 – Berawal pada saat pemeriksaan
USG, dokter menemukan ada lilitan tali pusat 1x di leher janinku, padahal waktu
itu umurnya sudah memasuki trimester 3. Aku dan suami cukup kaget, tapi dari
awal kami selalu berusaha ikhlas dengan apapun hasil pemeriksaan kehamilan. Alhamdulillah
dari bulan 1 sampai 9 tidak kami dapati berita buruk, baru kali ini, yang
sebenarnya juga bukan buruk, tapi sedikit beresiko untuk melahirkan secara
pervaginam.
01 April 2021 – Aku cek ke dokter lagi, kali ini
ditemani mamaku karena aku sudah stay di rumah orang tua. Sebelumnya, aku dan
mama periksa ke bidan dekat rumah, kebetulan beliau teman mamaku. Aku diminta
terus berpikir positif dan optimis bisa melahirkan pervaginam meskipun dengan
lilitan. “Toh yang lilitannya 3x aja banyak yang bisa normal kok” katanya. Aku
mengiyakan, dan mengamini. Meskipun hati kecilku bilang aku tidak boleh keras
kepala, mau normal atau caesar terserah asal nanti anakku selamat hingga ke
peluk hangat orangtuanya. Dalam pandanganku, dokter kandungan cenderung lebih rasional,
dia mengungkapkan kondisi real time
dan resiko dari setiap pilihan metode persalinan. Pada pemeriksaan itu, hasil
USG-ku menunjukkan adanya pengapuran plasenta. Terlihat jelas di layar ada bercak-bercak
putih menyerupai jamur yang menyebar hampir di seluruh permukaannya. Aku syok, mamaku sontak berdiri dan mendekat ke
layar. Mengingat plasenta adalah sumber nutrisi janin, aku bertanya-tanya apa
penyebabnya dan bagaimana mengobatinya. Dokter bilang penyebabnya karena
plasenta sudah tua, bukan karena kurang gizi atau kelelahan bekerja seperti
yang kutakutkan, memang setiap plasenta punya ‘umurnya’ sendiri. Lalu cara
mengobatinya? Tidak ada, satu-satunya jalan mengobati pengapuran plasenta adalah
segera melahirkan janinnya. Hari itu juga aku diminta tes CTG untuk mengetahui
denyut jantung janin. Hasilnya, ada penurunan performa di bawah batas normal sebanyak
4x dalam 10 menit..
02 April 2021 – Tes CTG untuk kedua kalinya, hari
ini ditemani suami karena kebetulan tanggal merah. Hasilnya? Denyut jantung stabil
namun tetap ada 1x penurunan di bawah batas normal. Berhubung umur kandunganku sudah
menginjak 39 minggu dan belum ada tanda-tanda kontraksi asli, dokter pun menulis
surat pengantar untukku ke rumah sakit esok hari dengan rekomendasi tindakan
awal berupa induksi.. “Berarti, besok harusnya kita jadi orang tua dong”
kelakarku pada suami, mencoba terlihat rileks meskipun aku tahu dalam
genggamannya tanganku masih tegang sejak meninggalkan ruang periksa tadi. “Kamu
jangan mikir aneh-aneh ya, fokus pada diri kamu sendiri. Jangan mikir negatif
sekalipun, jangan mikirin biaya, jangan takut berlebihan sama induksi” kurang
lebih itu yang aku tangkap dari responnya yang tenang. Ya, dia selalu bisa
terlihat tenang, bersikap dan mengambil keputusan dengan tenang. Aku berterima
kasih selama ini kehamilanku juga banyak dipengaruhi ketenangannya yang menular.
03 April 2021 – Diantar orang tua dan mertua, aku
melenggang masuk ke IGD salah satu rumah sakit yang katanya terbaik di kotaku.
Melenggang bukan karena aku merasa akan baik-baik saja, tapi dibanding pasien
IGD yang lain, saat itu aku yang paling tidak kenapa-kenapa. Terbersit rasa syukur
karena tidak harus ke RS malam-malam dalam keadaan mulas hebat seperti
bayanganku sebelumnya. Aku pun ditensi, disuruh tiduran dan diinfus, diswab
antigen (yang surprisingly sakit
banget karena pertama kalinya), lalu diperiksa 2-3 orang bidan untuk laporan ke
dokter. Setelah sekian jam di IGD dan suami selesai mengurus pendaftaran, aku
pun dibawa ke ruang perawatan. Kamar VVIP A nomor 507, akan aku ingat sebagai
kamar bersejarah dan saksi bisu kelahiran cucu pertama keempat orangtuaku..
Kamar 507 |
Sekitar pukul 10.00 aku menjalani tes CTG
terakhir sebelum diputuskan tindakan apa yang terbaik menurut dokter. Selama
hampir 40 menit mesin memperdengarkan detak jantung janin ke seluruh sudut
kamar. Aku mulai harap-harap cemas; penuh harap detak jantungnya dapat terus
stabil, namun cemas karena sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan mulas. Selang
satu jam kemudian, bidan datang memberitahukan hal yang sejujurnya sudah tidak
lagi mengagetkan,
“Bu, hasil CTG tadi masih ada penurunan, kata dokter
Ai baiknya caesar saja untuk meminimalisir resiko. Tapi kalau ibu ingin mencoba
induksi, kita hanya bisa memberi dosis 2 dari yang normalnya 5 karena takut
jantung janin tidak kuat. Itu pun belum tentu induksinya sukses.” Kurang lebih
seperti itu penjelasan dari sang bidan.
“…..” pikiranku belum menemukan satu katapun
untuk merespon
“Gimana, Bu?” tanya bidan itu lagi
“Oh. Boleh saya minta waktu, mbak? Saya
diskusikan dulu dengan suami sebentar”
“Baik, kami tunggu secepatnya ya, Bu”
Bidan itu keluar ruangan dan suami langsung
merendahkan tubuh di sebelah tempat tidur agar kami bisa bertatap muka. “Eja
pikir kita sebaiknya gak ambil resiko” paparnya singkat. Iya, aku setuju, sejak
awal bidan itu menjelaskan pun sebetulnya aku sudah condong pada satu keputusan.
Aku hanya perlu memastikan bahwa suami juga ikhlas dan mengizinkan. Kami akan
menyesal seumur hidup dan tidak akan bisa memaafkan diri sendiri kalau sampai
terjadi apa-apa dengan janinku hanya karena kami coba-coba memilih induksi. Ditambah
dengan cerita beberapa teman; induksi itu sakitnya lebih-lebih dari mulas yang
alami. Dalam kasusku, sakitnya dapat, kemungkinan gagalnya dapat juga. Akhirnya
aku menarik nafas panjang dan membulatkan tekad. Bukankah yang terpenting dari sebuah
persalinan adalah mengantarkan bayi dari rahim ke rangkulan kita dengan
selamat?
Dan begitulah kami melalui malam minggu paling
berkesan dalam hidup kami. Tanggal 03 April 2021/20 Sya'ban 1442H, pukul 12.00 siang aku diminta
mulai berpuasa, pukul 18.00 dibawa ke ruang operasi, pukul 19.17 bayiku lahir
dengan berat 2,8 Kg dan panjang 50 cm, sekitar pukul 20.00 aku sudah kembali ke
kamar dengan kondisi sadar, sehat, dan luar biasa lega. Lega karena ternyata
operasi tidak semenakutkan yang kubayangkan, lega ternyata suntik bius tidak
semenyakitkan yang temanku bilang, dan yang paling melegakan adalah bayiku
sehat, selamat, sempurna dengan nilai APGAR 9. Tak terukur rasa syukur yang
hamba miliki atas pertolongan dan perlindungan-Mu ya Allah.. terima kasih,
terima kasih banyak atas kesempatan merasakan semua ini.
You’re finally here, my son..
I’m forever grateful for you, my sunshine..
selfie sebelum masuk ruang operasi, sayangnya suami gak boleh ikut |
PS: ini obat China yang direkomendasikan dokter setelah caesar, ampuh banget mempercepat penyembuhan |
0 komentar