Aku pikir, setelah seorang anak menikah, maka orang tua akan merasa lebih ringan; financially, mentally, physically. Karena setelah menikah, si anak harus mandiri, harus bisa mengurusi hidupnya sendiri dan tidak lagi banyak membutuhkan peran orang tua. Bahkan si anak itu kemudian (dengan izin Allah) akan menjadi orang tua juga dan menjalankan peran yang sama seperti orang tua mereka dulu. Pikirku, setelah si anak menikah, hilang sudah ia dari pikiran orang tuanya.
Ternyata, aku salah.. Sangat salah, bahkan.
Tahun 2025 ini, usia pernikahanku memasuki tahun ke-6. Apakah aku bahagia? Insya Allah iya. Sepertinya iya. Aku lupa apakah suamiku pernah bertanya aku bahagia atau tidak bersamanya, he’s not big at words. Love language suamiku act of service, bukan words of affirmation. Tapi kalau dipikir lagi, mungkin suami tidak bertanya karena takut juga mendengar jawabannya. Seandainya ternyata aku bilang aku kurang bahagia, siapkah dia legowo menerimanya? Apa yang harus dia lakukan setelahnya? Haruskah mengusahakan yang lebih ketika workload yang ada saat ini saja sudah sangat payah? Tapi okelah, sebagai istri, aku juga tidak keberatan jika tidak ditanya tentang kebahagiaan. Rasanya untuk menjawabnya pasti perlu pemikiran panjang. Syukur pada Tuhan ekonomi kami tercukupi, tapi bahagia bukan hanya tentang itu, bukan? Harus memikirkan aspek lainnya sebelum menjawab, kan? Jadi mari berpindah topik pembicaraan. Dan lupakan dulu suami, karena aku ingin bercerita tentang orang tua yang melepas anaknya menikah tadi..
Percaya atau tidak, letak salahku ini adalah tentang papaku. Justru papaku, yang di awal tahun 2025 ini bertanya tentang ‘Apakah aku bahagia?’ itu. Papaku (melalui mamaku) ingin tahu apakah aku baik-baik saja di pernikahanku yang sudah melewati 5 tahun pertamanya. Papaku tahu aku orang yang sulit, sebelum menikah mewanti-wanti suami bahwa aku keras kepala dan pandai berkelit (maksudnya selalu bisa membuat alasan yang disetujui orang lain, haha). Aku dan papa pernah mendiskusikan isu-isu karakter itu bahkan saat aku masih SD dulu, sekarang baru aku sadar beliau selalu memantau attitutde-ku dan saudaraku agar kami tidak tumbuh besar membawa karakter yang kurang ajar. Obrolan-obrolan sore hari yang tak akan aku lupa, seperti halnya obrolan-obrolan akhir pekan yang juga kerap menjadi pintu nasehatnya.
For the context, tahun 2025 ini aku punya resolusi untuk lebih ambisius memperbaiki pola makan dan postur tubuh. Perut pasca operasi caesar ini memang hampir mustahil six pack, tapi aku mati-matian membuatnya kembali rata. Mungkin bukan mati-matian ya, lebih ke keleyengan aja karena olahraga berat yang aku ikuti di sebuah program gym. Singkat cerita, papaku melihatku lebih kurus, cemilanku tak lagi berkardus-kardus. Aku seperti kebanyakan wanita dewasa kota metropolitan yang berlagak mengurangi calori intake tapj selalu craving mie tek-tek.
Dan tibalah saat gong mengejutkan itu, waktu aku ngobrol di dapur sama mama dan ia bilang “Papamu mikir kamu kurusan, ada apa katanya.” Yang aku ingat waktu itu jawabanku hanya “Hah? Serius?” Sedikit tidak percaya bahwa papa akan mempertanyakan hal se-personal itu. Yang aku kira papaku sudah tenang pikirannya setelah aku menikah dengan laki-laki pilihanku, ternyata diam-diam memperhatikan kondisiku setiap kali bertemu. “Kurusan karena emang aku olahraga, Ma. Ngegym sekarang tiap minggu.” selorohku pada mama yang mungkin juga pura-pura cuek karena bertanya sambil tetap mengiris bumbu. “Ya alhamdulillah, takutnya ada masalah apa-apa atau di rumah tangga kata papamu” timpal beliau dalam Basa Sunda sambil menyalakan tungku.
Oh jadi begitu..
Di menit itu aku akhirnya paham, bahwa menjadi orang tua berarti berkomitmen untuk mau tidak mau terus memikirkan anak sepanjang hayat, mau tidak mau akan terus khawatir pada anak seumur hidup. Tak peduli anak sudah dewasa, menikah, bahkan punya anak-anaknya sendiri. Menjadi orang tua berarti ‘menjual’ jiwa kita untuk kebahagiaan anak, dan tanpa bisa dicegah menjadikan anak sebagai sumber kebahagiaan utama. Sekali kita menjadi orang tua, hilang sudah rasa aman menyongsong masa depan itu. Tak peduli sebesar apa nominal yang dihasilkan, seprogresif apa portfolio reksa dana yang dimiliki, kita akan selalu memiliki ketakutan tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan si anak yang kita lahirkan.
Dear o Papa,
Mohon maaf setulusnya jika aku masih membuat pikiranmu riuh, papa tidak perlu menebak-nebak jika hidupku sedang teduh atau bergemuruh. Aku kuat, aku yakin Allah akan kuatkan aku selalu, karena aku tahu doa mama dan papa menaungi setiap babak yang kutempuh.
Aku kini juga adalah orang tua.
And sure I know how it feels; to love, to worry, to reflect, to evaluate anything, everything about my son, 24/7. Just as you did (or as you do). Tidak semua anak perempuan beruntung memiliki sosok seperti papa, banyak wanita yang lalu sadar ia memiliki luka pengasuhan yang diturunkan pada anaknya akibat wanita itu tidak dibesarkan oleh sosok ayah seperti papa, and I love you for that. I’m forever grateful for you and I will not settle for less, if my husband is not as caring as you.. then I don’t want him. But for now, Pa, insya Allah aku lebih dari baik-baik saja. Mari bahagia bersama karena hidup yang berat sekalipun masih aman aja selama papa dan mama sehat mah ;)