saat sebuah hubungan bergantung pada teknologi
Sebelum akhirnya aku bersanding, aku tidak pernah membayangkan akan mengalami hal yang paling aku tidak sukai, sebuah situasi dan kondisi dimana seumur jantungku berdenyit aku tidak pernah yakin akan mampu menyanggupinya. All about my future relationship, adalah apa yang mereka bilang padaku sebagai ‘hubungan jarak jauh’…
Tulisan kali ini bukanlah jerit hati atau penyesalan, justru kata per kata selanjutnya adalah luapan kebanggaan, keyakinan akan cinta terakhir, sebuah kematangan, awal dari cinta yang bukan cinta monyet dan sedikit keangkuhan akan diriku sendiri yang sukses membuat apa yang seharusnya indah menjadi sempurna.
Di awal perjalanan kisah kasih ini, beberapa keraguan muncul dan bersarang di benakku, tak pelak semua itu membuat hati kembali memilih. Aku inginnya yang nyata, yang selalu ada, bisa hadir kapan saja dan bisa ku raba. Bukan ini, yang ini terlalu jauh, mobilitasnya terlalu tinggi dan aku hanya bercumbu dengan bayangnya lewat ketikan-ketikan manis di pesan singkat dan suara paraunya yang menggoda lewat udara malam. Sampai sejak saat aku dan dia menjebloskan hubungan ini ke dalam lingkup keluarga besar, aku mendapat pasokan energi dari hampir semua element di keluargaku, dan tentu keluarganya. Sejak itulah, aku belajar mengenal kesetiaan dan kata ‘sabar’.
Pertama bagai mimpi, aku tidak menyangka setelah hampir satu tahun berpisah aku dan dia bisa kembali seperti dulu, membuat aku tidak sanggup berkata banyak tentang hubungan ini, aku juga tidak ingin terlalu banyak pasang telinga mendengar kabar bahagia ini, aku tak sanggup kala harus berbangga hati dengan sesuatu yang untuk dilihat saja dia sangat jauh. Cukup di hati, aku jalani hari demi hari dengan kesendirian akan hadirnya sesosok tampan yang kurindukan, tak apalah, aku mengerti pentingnya mencari ilmu ketimbang pacaran.
Bicara tentang perubahan, menginjak bulan ke-2 hubungan jarak jauh ini, ada beberapa hal yang asalnya tidak biasa kemudian menjadi bagian dari diriku yang sekarang, perubahan-perubahan kecil yang sebenarnya tidak perlu terjadi kala jarak masih bisa diperdekat setiap saat, mungkin untuk kalian dan pasangan kalian, bukan aku dengan pangeranku.
Perubahan pertama adalah terhadap gadget. Seperti ponsel, awalnya dia bukan benda yang berharga, kadang kutinggal, kadang diacuhkan, jarang sekali ponsel sampai dibawa ke kamar mandi dan digantung di leher saat makan seperti sekarang. Bermula dari sebuah ‘commit’ harus menjaga komunikasi, ponsel menjelma seolah menjadi nyawa, aku gak bisa pergi tanpa ponsel, gak tahan kalau ponselku busung pulsa, gak mungkin sehari gak beli paket hemat pulsa. Begitulah, aku berpacaran justru dengan ponselku dan beberapa gadget yang memungkinkan untuk aku terus terhubung dengan dia dan dunianya.
Selanjutnya, mari masuk ke dalam hati, “pernah kalian merasa iri sama pasangan yang near distance?” aku pernah, pernah sering sangat iri, meskipun di sisi kiri-kanan aku mendapat banyak kasih sayang, tetap saja. Terkadang saat pergi sama mami atau keluarga aku harus gigit jari melihat pasangan yang bermalam-mingguan hilir mudik sembari tak lepas-lepasnya tangan mereka bergandengan. Kalau sudah begitu, aku harus sedikit meyakinkan diri bahwa keluargaku lebih baik dari pacar-pacar mereka, sama mami aku bisa jajan sepuasnya, gak kayak sama pacar, mana berani minta jajan sepatu atau baju sama pacar! Tapi memang sebelumnya, tidak pernah aku mengenal kata ‘iri’. Puji syukur pada Tuhan aku dikaruniai hanya sedikit ruang hati untuk iri, jarang sekali aku merengek minta itu-ini setelah aku lihat orang lain bawa ini-itu yang aku tidak punya. Hanya saja sekarang, aku mengenal ‘iri’ dari mereka yang bisa bertatap muka dengan orang yang menjadi pasangan mereka, sedangkan aku tidak.
Long Distance Relationship –begitu situasi ini biasa dipopulerkan- ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan 4 bulan silam saat masih proses pendekatan untuk kesekian kalinya. Justru, saat ini aku merasa banyak sekali hal yang bisa dibilang sangat excited di samping perubahan-perubahan kecil yang (sebenarnya) kurang positive. Hanya bisa bertemu 2 hari dalam seminggu, itu pun saat mobilitasnya renggang dan tidak disibukkan dengan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang nyatanya bisa mengesampingkan aku. Lalu entah kenapa, semua ini membuatku lebih sering pergi ke salon, padahal hanya untuk mengecat kuku atau sekedar keramas aku biasa lakukan sendiri di rumah. Jangan tanya hubungannya apa dan bagaimana aku sendiri juga tidak mengerti, jika dijelaskan panjang lebar mungkin dua halaman wordPad ini tidak muat menampung pola pikir dan alasanku. Singkatnya, aku ingin selalu terlihat lebih baik dari pertemuan terakhir kita. Wajar kan?Hubungan ini juga tidak mengenal kata ‘jenuh’, setiap akan bertemu, aku selalu menyempatkan diri membuat surprise kecil-kecilan, berusaha membuat waktu yang singkat menjadi padat, sarat akan makna dan mampu membendung kerinduan untuk bisa lebih lama bertahan tanpa pertemuan. Seperti minggu lalu, aku coba bikinkan dia pudding kesukaannya, resep dari maminya aku coba buat di rumah meskipun 90% prosesnya dikerjakan mamiku. Yah, minimal aku bisa mengocok telur dan membuat topping cream ketimbang hanya menunggu matangnya. Sore hari dia datang ke rumah, senyum tersungging amat lebar dimukanya yang tampan, sangat tampan, nilai 1-10 dia aku beri 9. Kecupannya mendarat hangat dan dia membawakan aku setangkai Rosemary –kejutan balasan- katanya iseng metik dari vas bunga ruang tamu. Pipiku senja temaram, memerah karena tersipu. Terserahlah, apa pun alibinya, aku suka Long Distance Relationship ini!
Dan saat kalian merasakan menjadi aku, menjadi seorang wanita yang dituntut dewasa karena keadaan, menjadi seorang gadis manja yang lebih tegar dari umurnya, yakinlah bahwa kalian hanya perlu percaya; pada hati nurani, pada pasangan, keluarga, terlebih pada Tuhan.Aku tutup tulisan ini saat aku tak mampu lagi membendung tetesan air mata, saat aku rindu pada pangeranku, aku musti bagaimana? Apa yang bisa aku lakukan? Kalian akan melakukan apa bila jadi aku? Mungkin bulan-bulan berikutnya aku belum akan bisa mendapatkan jawaban. Tak apa, lebih baik begini daripada harus kandas lagi, aku malas memulai semuanya dari nol saat aku kembali ke pelukan orang yang sama…
Terlalu banyak kisah tentang LDR-ku, setiap minggu setiap bertemu, ada saja yang bisa membuatku tersenyum-senyum bahagia dan menari-nari kegirangan, baiknya aku tulis lain waktu biar terpisah dari tulisan kali ini. “Harus jadi anak baik kalau pengen aku pulang! Jangan lupa gosok gigi dan tidur pakai selimut, ya!”
NB: dan sejauh hubungan kita berlangsung, mamiku paling the best kalau soal ngatur-ngatur, kayak gini, nih!
0 komentar