“Adalah mustahil senangkan semua pihak.”Kalimat di atas sepertinya mewakili kehidupan bersosial kita sehari-hari. Apapun yang kita lakukan, apapun yang kita putuskan, akan selalu memunculkan pro dan kontra dari lingkungan sekitar, maka dari itu berhentilah untuk berusaha disukai semua orang.Istilah haters mulai popular di awal tahun 2010-an, ketika itu hampir semua orang memiliki akun media sosial, sehingga memungkinkan terjadinya komunikasi yang lebih bebas dan transparan. Orang-orang bisa mengumbar kemesraan dan kasih sayang, tapi juga mulai banyak yang terang-terangan tidak menyukai satu individu atau kelompok.Aku pikir masing-masing dari kita punya haters, yang nampak atau tidak sama aja. Kita juga mungkin adalah haters untuk sesama, karena kita adalah bagian dari ‘semua pihak’ yang mustahil mereka senangkan.Lalu, bagaimana menghadapi haters?Gampang.Haters erat kaitannya dengan penghinaan. Maka ketika mereka menghina, ingatkan diri kita bahwa kita adalah manusia yang tidak akan pernah sempurna. Kita adalah makhluk Tuhan yang kerap melakukan kesalahan, bahkan berlumur dosa..Sakit hati karena dihina adalah wajar, tapi jika kronis hingga mendendam adalah ciri bahwa kita merasa lebih baik dari hinaan itu. Coba kalau kita merasa lebih jelek? Bukan mustahil kan setiap ada orang yang menghina justru kita hadiahi senyum tulus dan berlapang dada.Ketika haters menghinamu, katakan “Ah, dia hanya tahu sedikit dari sekian banyak kejelekan yang aku miliki. Dia hanya mengumbar sedikit keburukan dari banyaknya aibku yang Allah sembunyikan.” Dengan begitu, hatimu terjamin lebih tenang dan tidak ambil pusing.Sepertinya gampang, sih, tapi hanya orang-orang berhati bersih dan ikhlas yang bisa mempraktekannya. Lalu kenapa kita tidak belajar sedari kini?(Tulisan ini terinspirasi setelah mengikuti kajian dakwah Aa Gym, beliau amat sangat tenang menghadapi haters yang gencar menghinanya di Twitter)
Sibling goals itu.. menurutku bukan cuma kayak Keenan Pearce dan Pevita Pearce yang punya paras indo nan cakep,
bukan cuma kayak Andovi da Lopez dan kakaknya Jovial da Lopez yang selain
pinter juga konyol banget, bukan juga kayak Ranz Kyle dan Niana Guererro yang
emang udah jadi simbol sibling goals duo di YouTube.
Buatku.. Sibling goals
itu seperti kedua om ku.
Aku punya 3 om dari
papa, mereka 4 bersaudara dan papaku paling tua. Awal tahun 2017 lalu om ku
yang ke-2 divonis kanker kelenjar getah bening stadium 4.. Yang sekaligus
menjadikan tahun ini sebagai tahun terberat untuk seluruh keluargaku setelah
tahun 2007 ketika kakekku meninggal.
Tahun ini juga om
ku yang ke-3 berangkat haji, salah satu kabar baik dari sekian kabar tentang
penurunan kondisi kesehatan om ku yang ke-2 yang kami dengan hampir setiap
hari. Akupun menyaksikan sendiri dari awal om ku sering sakit leher, lalu
membuatnya tidak mampu beraktifitas dan dilarikan ke rumah sakit di Bandung
sampai beberapa kali operasi dan sekarang.. fisiknya yang dulu tambun seperti
tinggal tulang, dengan bolongan di leher untuk membantu bernafas, dan makan
minum melalui selang yang dimasukkan melalui hidung.
Ketika hari
keberangkatan kloter haji om ku yang ke-3 tiba, hari itu juga pihak rumah sakit
menyatakan bahwa mereka ‘angkat tangan’ dengan kondisi om ku yang ke-2. Aku dan
keluarga berkumpul di rumah sakit untuk mengurusi kepulangan om ku ke Tasik.
Bahkan om ku sendiri yang sudah tak sabar ingin pulang. Om ku yang ke-3 awalnya
berpikir untuk menunda keberangkatan karena takut terjadi apa-apa dengan kakak
kesayangannya dan ia tidak ingin berada di tempat jauh ketika hal terburuk
terjadi.
Setelah diyakinkan
oleh papaku, akhirnya om ku yang ke-3 berangkat juga. Saling memaafkan dan
mengikhlaskan adalah kunci ketenangan hati pada saat itu. Kami selalu mengingat
bahwa apapun yang terjadi di menit yang akan datang, tidak lain dan tidak bukan
adalah atas kehendak Sang Illahi Rabbi.
Om ku yang ke-3
berangkat ke Jakarta, bersamaan dengan om ku yang ke-2 dibawa ambulance untuk
pulang ke Tasik. Aku sendiri berdiri mematung di lorong rumah sakit, aku belum
bisa meninggalkan Bandung, dan aku pun berusaha ikhlas ketika berpamit pada om
ku untuk kembali kerja..
Selang satu atau
dua minggu aku pulang ke Tasik dan mamaku cerita bahwa omku membaik setelah
mendengar bahwa ia diumrahkan oleh omku yang sedang berhaji.
“Wow.. diumrahkan?”
sahutku sambil termenung. Aku pikir ketika seseorang melakukan ibadah haji, ia
akan sangat sangat sibuk bahkan sering tidak tidur karena padatnya jadwal dan kondisi
kesehatan yang rentan akibat cuaca ekstrem tanah Arab. Terlebih aku lihat di
berita kalau tahun ini suhu Mekah pada siang hari mencapai 45 derajat dan itu
merupakan yang terpanas dalam beberapa tahun terakhir.. yet my 3rd uncle
decided to gift the most woderful gift to her brother? I really am amazed.
Aku lalu berfikir,
kalau aku ada di posisi omku dan kakakku sakit keras, aku pasti juga akan
melakukan hal yang sama. Tak peduli selelah apapun menuntaskan rangkaian ibadah
haji, aku akan menemukan waktu untuk umrah dengan niat untuk kakakku. Tapi
tentu saja aku berdoa semoga seluruh keluargaku selalu dalam keadaan sehat
wal’afiat, terutama kedua orang tuaku. Amiin.
Hampir 2 bulan
berlalu dari sejak omku yang ke-2 bedrest
di rumah, kondisinya perlahan terus membaik. Bahkan 2 minggu terakhir aku dapat
kabar omku bisa berjalan! Dokter saja sampai bilang kesembuhan beliau adalah
keajaiban, dan aku rasa itu benar, karena keluargaku percaya tidak ada yang
tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak. Banyaknya doa nenekku yang naik
kelangit di sepertiga malam, kesabaran tanteku sebagai istri yang luar biasa
membuatku salut, ketaatan kedua sepupuku saat membantu mengurusi ayahnya, dan
doa setiap orang yang menjenguk dan yang jauh tak terlihat, pasti tidak akan
disia-siakan oleh Tuhan Sang Pemberi Kesembuhan.
Akupun, akan selalu
mendoakan yang terbaik untuk omku yang ke-2 dan seluruh anggota keluarga. Tentu
saja.
Family potrait on Lebaran day last year. |
November 01, 2017
No komentar
"Bisa
jugaaaa kita gak heos liburan
bareng!"
Sebuah mobil di
jalanan sekitar objek wisata Pantai Drini Yogyakarta terlihat lebih norak dari
mobil lainnya, itulah mobil kita -eh mobil kami. 7 orang remaja kelewat
tanggung (muda enggak, tua belum) sedang menikmati liburan yang terdeteksi
sebagai 'wacana belaka' sejak bersahabat hampir 10 tahun lamanya. Mobil
tersebut sebetulnya bukan mobil modifan, apalagi mobil sport dua pintu yang
jelas bakal bikin siwer orang sepanjang jalan. Yang bikin mobil kami norak
adalah ada anduk dijemur di jendela depan; warna ijo, gambar katak.
Isma (well, this
is a writer), Hana, Miranty, Gitta, Wildan/Idan, Lugiyan/Ugi, dan Iqbal/Ibay
yang berteman sejak zaman pacaran masih angkot-angkotan sampai sekarang sudah
punya calon pasangan hidup masing-masing *insya Allah*, dikenal sering sekali
merencanakan liburan se-geng dan tapi gak pernah terwujud, atau yang dalam
bahasa Sunda istilahnya heos (n. adj.). Would somebody tell us why? Because actually we
never know. Lalu, sedikit tabungan dari hasil kerja keras masing-masing dan beratnya
beban pekerjaan selama weekday, membuat kita lebih bertekad dan lebih nekat
untuk merealisasikan liburan meskipun hanya sesingkat dari Sabtu ke Minggu..
Yikes, a fake naked travelers gone for a short weekend escape!
Ngajogjakarta
Hadiningrat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta
menjadi tujuan perjalanan kami. Kenapa ya perasaan kok Jogja mulu? Because
there are many low-price destinations around, despite the province was quite easy
to reach by one train trip from Bandung or Tasikmalaya. Emang gak bosen ke
Jogja mulu? Ya, kami pernah ke Jogja (ini yang ke 4 apa 5 gitu buat gue), study tour SMP kami juga ke Jogja but
please, berangkat sama sahabat pasti beda serunya. Dan liburan kami kali ini ke
Jogja bagian Gunungkidul, which fortunately I've never stepping on yet.
Berangkat bareng
si Ibay dari Stasiun Kiaracondong Bandung pada Jumat sore tanggal 5 Mei 2017,
harus kehilangan kursi panjang buat tidur karena 3 jam kemudian Mira, Gitta,
Idan, dan Ugi naik di Stasiun Tasikmalaya. Sementara Hana udah sampe Jogja
duluan karena berangkat dari Jakarta Jumat siang, dan harus nungguin kita yang
baru bakal sampe di Stasiun Lempuyangan Sabtu shubuh. Seriously? U must be very
patient :""
Keluar gerbang
stasiun sekitar pukul 3 dini hari, supir rental mobil udah nungguin aja pinggir
jalan untuk serah terima jabatan -sebagei supir. Dan kami gak buang waktu lagi
untuk langsung tancap gas ke arah Utara menuju Gunungkidul. Ya bayangin aja
waktu cuma 2 hari kalo ditambah leyeh-leyeh paling mentok cuma bisa 2 lokasi
wisata aja.
Sadranan Beach |
Who run the world? Girls~ |
Hari pertama
bener-bener non-stop lancong sana-sini, harusnya sih bikin tepar karena cape
banget tapi kita masih kuat ketawa bruakakak
sambil melek ampe lewat tengah malem setelah menjajal tempat-tempat hits
di Jogja:
- Pantai Sadranan
- Pantai Drini
- Pantai Parangtritis (meskipun gak turun karena B aja tempatnya)
- Gumuk Pasir Parangkusumo (meskipun gak turun karena ajegile panas banget dan B aja juga)
- Jalan Malioboro (dikata mainstream tapi tetep aja jadi destinasi wajib)
- House of Raminten (yang WL nya berjam-jam dan baru bisa makan pas udah larut)
Drini Beach |
Minggu, 7 Juli
2017, the last but not least, Hana yang dateng duluan harus juga pulang duluan
pake kereta siang sedangkan yang lain pake kereta jam 8 malem. Untuk itu kami
memaksimalkan waktu dengan check-out pagi-pagi dan langsung keliling Kota Jogja
berburu oleh-oleh, meskipun gue pribadi gak tertarik beli apa-apa karena
orangtua dan kakak baru aja dari sini bulan lalu. Jogja has a sort of magnet,
eh?
Depan hotel. Taken by abang-abang kang bersih-bersih. |
Abis muter-muter
nyari tempat makan yang khas, at the end we landed at ayam goreng tepung Olive
yang jadi andalan anak kampus Jogja. Tempat mirip KFC harga sama kayak Sabana.
Mantap memang. Dari situ kami melanjutkan perjalanan ke Tamansari Water Castle
atau Istana Air Tamansari yang well, I think it should get some renovation. Dan
memang waktu itu di beberapa titik lagi direnovasi, cuma gue harap kedepannya
ada border/batasan jelas antar kawasan istana dan permukiman penduduk sekitar.
Karena di dalem kami sempet bingung mau lewat jalan yang mana, asal masuk
sana-sini malah jadi ke komplek rumah warga.
Tamansari Water Castle |
Selesai makan di
burjo (gak afdol dong ke Jogja gak ke burjo) dan beli beberapa cemilan, kami
memutuskan balikin mobil rental dan nunggu di stasiun sampe jam kepulangan
tiba. And yaaaa, finally we made it! Liburan emang cape, boros, tapi worth the
effort because we'll never know when we have time to re-paint the closeness and
bond with our beloved friends altogether. Meskipun pas nyampe di Stasiun
Kiaracondong Senin dini hari gue harus langsung balik, mandi, makan dan
bergegas lagi buat rapat di Jakarta, tapi gue seneng. Seneng karena sesibuk
apapun gue, ternyata masih bisa membagi waktu dengan benar. Dan seneng karena
sesibuk apapun sahabat gue, mereka mau memprioritaskan liburan bareng-bareng
gue.
So since now and
then, the Heosers wasn't only a gank of heos-talkers anymore..
The memory of us will remain forever.. |
PS: Dan yang
paling bikin seneng sebenernya adalah Hana dan Gitta sekarang udah pake jilbab
juga. Next liburan gue gak akan sendirian lagi tutup auratnya ekekek.
September 02, 2017
No komentar
Part 1
Suara pengumuman membangunkanku dari tidur yang tanggung, belum 15 menit
rasanya saat terakhir kali aku melihat keluar jendela. Bintang-bintang terasa
sangat dekat di ketinggian 20 ribu kaki, awan tebal bergulung
membentuk ombak-ombak seperti di lautan. Aku
tak akan pernah bosan melihat ini, lain kali jika harus bepergian jauh lagi akan kuingat untuk selalu mengambil penerbangan dini hari.
Gamalama Mountain from the altitude |
Temanku di kursi sebelah masih terlelap, lehernya seperti mau patah
karena tertunduk ke depan. Memang cukup melelahkan harus menempuh perjalanan
dari Bandung ke Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng saat sore hari,
macetnya luar biasa, belum lagi perasaan takut ketinggalan
pesawat. Monitor di depan kursi temanku menunjukkan waktu tiba pesawat sekitar 10 menit lagi, sementara layar monitorku masih memampang playlist Coldplay yang tadi sempat kudengarkan lewat headset.
Garuda Indonesia Lounge at Terminal 3 |
Bandara Sultan Babullah Ternate.. tulisan yang pertama kali terbaca
saat menuruni tangga pesawat menuju bis jemputan. Huh, badanku kaku sekali,
sakit di telinga karena perbedaan tekanan udara di pesawatpun belum juga
hilang, dan dari bandara ini, masih ada perjalanan selama setengah hari yang
harus aku dan temanku tempuh.
Bandara Sultan Babullah TTE |
Kami menunggu di bandara selama lebih dari 3 jam sebelum akhirnya
temanku datang menjemput. ‘Pahala silaturahmi kan gede, gak apa-apalah sabar
dikit belum tentu bisa kesini lagi’ kataku mencoba tidak terlihat gemas karena
aku sangat benci menunggu. Pukul 12 siang aku sudah duduk manis di speedboat
di Pelabuhan Mangga Dua Ternate, penyeberangan ini akan membawaku ke Sofifi, di
Sofifi kami perlu mengunjungi kantor Gubernur dan setelahnya ada perjalanan
darat lagi hingga sampai ke kota tujuan. Darat, laut, udara? Hajar aja.
“Gila, sepi amat!”
adalah kalimat refleks dari mulut temanku saat kami keluar dari jalanan
berpagar hutan dan mulai memasuki wilayah permukiman penduduk.
“Ini beneran udah
kotanya, Pak?” aku bertanya pada Pak Jufri Con, supir travel yang kami sewa
untuk menjemput kami dari Pelabuhan Sofifi menuju kota tujuan ini.
“Iya, ini su sampai
Weda, Bu” balas Pak Jufri sambil lagi-lagi membunyikan klakson untuk ‘permisi’
pada yang katanya penunggu ruas jalan tersebut. Hampir 3,5 jam perjalanan
Sofifi-Weda, aku tidak bisa tidur karena pak supir ini kerap membunyikan
klakson mobil setiap beberapa menit. Padahal jalanan sepi, hanya beberapa kendaraan
lain yang berpapasan dengan kami, itu pun tidak mengganggu karena badan jalan
selebar 10 meter masih muat untuk kita jalan masing-masing.
“Ya sudah, cari
tempat makan baru langsung cari hotel, ya, Pak”
“Hotel di sini
tutup, Bu, tapi ada 3 penginapan. Nanti saya antar buat pilih. Kemarin Pak
Jokowi ke sini hotel yang tutup dipaksa dibuka padahal belom selesai itu dibangunnya”
Pak Jufri terus bercerita, sementara aku terus melihat ke luar jendela dan
menelan sebanyak-banyaknya alasan untuk bisa betah di kota ini..
Kota Weda, ibukota
Kabupaten Halmahera Tengah, dimana aku akan settle
down selama kurang lebih 10 hari untuk menjalankan kewajibanku mensurvey
pelabuhan-pelabuhan di kabupaten ini. First
impression untuk Kota Weda, sama seperti yang temanku bilang tadi, ‘sepi’
pake ‘amat’ karena memang teramat sepi. Hanya saja aku selalu ingat, orang
Maluku itu baik-baik dan senang membantu, maka aku kesampingkan imajinasi soal kota-kota
sepi yang berhantu. Lagipula, kami bisa bilang itu sepi karena kami dari
Bandung, dari ekosistem megapolitan yang jelas bukan tandingan Weda, coba saja
aku tinggal di Entikong, Weda pasti rame menurutku.
Pukul 7 malam di Indonesia bagian Timur terasa seperti pukul 5 sore di Indonesia Barat, hari masih cukup terang dan aku sudah melempar diri di kasur kamar hotelku yang teramat sederhana pula. Kerap kali pergi jauh dari rumah untuk berkarya (bukan bekerja), mengajariku untuk tidak mengeluh di berbagai situasi. Mengeluh pada sesama rekan kerja? Tentunya bukan solusi, karena seperti semangat, pesimisme pun menular. Apalagi teman se-tim ku ini baru pertama kali terjun di dunia kepelabuhan, so I composed myself and tryna to be what a leader supposed to be.
Pusat kota Weda |
Pukul 7 malam di Indonesia bagian Timur terasa seperti pukul 5 sore di Indonesia Barat, hari masih cukup terang dan aku sudah melempar diri di kasur kamar hotelku yang teramat sederhana pula. Kerap kali pergi jauh dari rumah untuk berkarya (bukan bekerja), mengajariku untuk tidak mengeluh di berbagai situasi. Mengeluh pada sesama rekan kerja? Tentunya bukan solusi, karena seperti semangat, pesimisme pun menular. Apalagi teman se-tim ku ini baru pertama kali terjun di dunia kepelabuhan, so I composed myself and tryna to be what a leader supposed to be.
“Ben, jangan dulu
tidur kita briefing dulu bentar” ucapku
lewat vioce note Line. Thank goodness there was a 4G signal! Hampir tiap tahun menjajal
pedalaman negeri, jarang sekali yang aku kunjungi sudah memiliki sinyal internet
atau bahkan telepon. Mungkin karena pulau K kecil ini (Halmahera) bersebelahan
dengan Raja Ampat yang infrastruktur telekomunikasinya sudah berstandar
internasional, sehingga Kota Weda sedikit sibuk dengan orang-orang yang sudah
punya akun media sosial.
Benny; teman se-tim
ku, sekaligus teman kuliah dan sahabat se-geng ku sudah duduk di ruang makan
sekaligus pavillion hotel saat aku keluar kamar. “Kamar urang loba reungit
pisan ih geus make AC ge!” (Kamar banyak nyamuk banget sih udah pake AC juga!)
sambutnya ketika aku duduk sambil menebar kertas-kertas survey design dan surat tugas. “Minum obat kina bisi nyamuk malaria”
sahutku asal, padahal aku pun lupa belum minum pil pahit itu sebelum berangkat.
Hingga penghuni
hotel yang lain kembali ke kamar masing-masing untuk tidur, aku menyudahi
briefing dengan serentet jadwal di kepala. Mengatur kegiatan selama di Weda
seefisien mungkin agar kami bisa cepat pulang. 2500 KM jarak aku dan rumah hari
itu, harus kubayar dengan hasil kerja yang (semoga) membawa perubahan yang
lebih baik, meninggalkan jejak yang berguna, mengambil pelajaran yang berharga.
Semoga karyaku jadi amal jariyah, yang tidak putus-putus selamanya..
“Okey, besok kita
mulai!” dengan itu aku kembali ke kamar dan bersiap untuk petualangan esok
hari.
August 29, 2017
No komentar
Lulus SMA pertengahan tahun 2011, dan ini reuni pertama kita sejak kelulusan itu. Kalo sekarang pertengahan 2017, berarti kita baru ketemu lagi setelah 6 tahun berpisah?! Ya emang sih, beberapa dari kita ada yang masih suka maen bareng, atau sekampus, setongkrongan, tapi tetep aja, bisa kumpul bareng pake judul reuni Taekwondo SMAN 2 Tasikmalaya angkatan 2011 mah baru ini aja!
Gak akan habis cerita kalau ngomongin gimana serunya masa-masa SMA bareng temen se-ekskul. Boleh lah namanya Taekwondo Indie 261, kesannya garang kayak ekskul bela diri lainnya, atau cool kayak anak basket di FTV-FTV. Tapi kalo kita, cukup garang di atas matras alias sepersekian detik menjelang ronde pertama sparring aja, sisanya kalo di luar itu lebih mirip anak ekskul kopsis yang hobi jajan dan ngomongin game online. Emang.
Anak Taekwondo 2011 harusnya punya motto "sarasa najan teu sawarna", yang artinya satu rasa meskipun gak satu warna. Kok gak satu warna? Soalnya kalo ngelihat warna sabuk, meskipun di sekolah kita seangkatan tapi di Taekwondo kita ini beragam. Ada beberapa yang emang udah sabuk item dari SMP, ada yang nerusin baru sabuk item di SMA, ada yang dari SMP sampe lulus SMA cuma sekali dua kali naek aja (gue contohnya hhh), yang lebih parah ada yang mau lulus SMA baru masuk Taekwondo terus sampe reuni kemaren gak nambah-nambah stripnya!
Tapi gak apa-apa, kalau lagi reuni gini kan gak kelihatan mana yang sempet jadi asisten pelatih mana yang sering dihukum karena teknik yang salah terus. Yang penting 2011 saling menyayangi dan kalau ada yang sparring saling nyuporterin serame dan sekeras mungkin. Karena gue pribadi ngerasain banget kalau tanding didukung sorak sorai penonton tuh bawaannya gengsi buat kalah. Ngahahah.
Gak kerasa, sekarang kita udah gede. Udah kerja. Meskipun yang ikut reuni ini kebetulan yang masih single, tapi beberapa anak 2011 yang gak bisa ikut reuni udah ada juga yang berumah tangga. Bentar lagi mungkin satu per satu yang di foto ini bakal nyusul ya.. Dan entar makin susah buat ketemu karena kebentur urusan keluarga masing-masing. But anyway, thank you so much for making me laugh hard. Ratusan kali tuh cerita si Diki pasang kuda-kuda pas lagi gempa Tasik sukses bikin gue ketawa ampe berurai air mata tiap diceritain, atau cerita si Uzi yang nulis "my cat is a male dog" pas ospek Taekwondo di Situ Gede, atau juga cerita pas kita camping, pas latihan alam di Batukaras, cerita pas ketemu lawan di kejuaraan, pas seleksi atlet atau ujian kenaikan tingkatan sabuk, cerita cinlok-cinlok ama pelatih, ama anak dojang lain, ama junior sendiri, dan lain-lain. Super duper kangen latihan di bawah pohon beringin lapangan depan... Huhu. Sampe ketemu lagi, barudak cukicudang 😂
August 01, 2017
No komentar
Gemercik hujan samar-samar terdengar di ruang rekaman RRI Bandung. Sore itu, langit begitu kelam, cuaca pun sangat tak mengenakkan; udara dingin dan tanah yang basah bukan kombinasi menyenangkan ketika kita berada di luar rumah. Aku duduk di sofa kantor PRO2 sambil mulai mengaktifkan lagi ponselku yang sejak setengah jam lalu aku airplane. Tiba-tiba ada banyak pesan WhatsApp masuk tak terkendali, dari kakakku.
"Mot, dimana?"
"Mot, Uyut maot" (Uyut meninggal)
"Mot, buruan balik."
Biasanya aku akan
mendengus, "Mat mot mat mot apaan
sih?!" Tapi untuk saat ini aku diam menatap ponsel, di baliknya
kakakku terus membredel layar dengan chat-chat singkat.
"Uyut mana..." Tanyaku tanpa makna, aku pikir uyutku akan
hidup seribu tahun lagi. Uyutku luar biasa tangguh, saksi sejarah perjuangan
bangsa Indonesia yang masih tersisa, dirawat sebaik-baiknya oleh seluruh
anggota keluarga.
Aku berdiri di
teras kantor PRO2, menyudahi telepon singkat dengan kakakku yang saat ini sedang
di Tasik. Konfirmasi yang kudapat mengingatkanku bahwa
uyut juga manusia dan setiap manusia akan merasakan mati. Sedikit kecewa,
ternyata superhero itu gak ada. Tapi banyak bersyukurnya, hidup di usia
sangat tua membalikkan uyut ke kondisi sebagaimana anak balita, mustahil
berbuat apa-apa.
Hingga waktu yang
entah berapa lama, aku sampai di rumah. Pikiranku kosong sepanjang perjalanan
dari RRI. Otakku yang pemikir seolah menemukan bahan segar untuk
berkontemplasi, selama ini berapa puluh kali aku berpikir tentang kemungkinan uyut punya ilmu yang menahannya ‘pergi’..
Sprei kasur dan
beberapa kain dibentangkan menjadi gordeng di sisi kiri rumah. "Wah, baru mau dimandikan"
ujarku dalam hati. Saat itu aku disambut oleh seorang sanak saudara yang aku
panggil om, meskipun tak paham jelas bagaimana silsilah kami. Mungkin harusnya
kupanggil Uwa (paman), atau kakak, atau mungkin aku bibinya. Masuk lewat
garasi, beberapa orang menatapku memasuki ruang tamu, kupikir dalam hati mereka
berkata "Kemana aja nih anak uyutnya
meninggal malah baru pulang." Selalu lah bersyukur Tuhan tidak
mengizinkan kita mendengar kata hati orang lain.
Aku langsung
mencari nenekku ke dapur, saat itu nenek sedang mengatur orang-orang yang akan
masak besar untuk tahlil. "Aneh, ada
yang meninggal malah kayak mau pesta nikahan", batinku komentar lagi. Di raut nenek tampak
rasa letih yang kentara, tapi ia masih selalu senyum. Ah, rasa syukur tadi kadang
berkurang juga saat aku begitu ingin tahu isi pikiran orang lain.
Beberapa orang
tetap melihatku, sampai ketika hendak menaiki anak tangga menuju kamar, sesuatu
menghentikan langkahku. Aku menengok ke ruang tamu.. Oh! Jenazahnya masih disemayamkan di sana. Bodoh. Kenapa tadi tidak mencari
jenazahnya dulu, main masuk ke dapur saja. Padahal ruangan dapur pasti
melintasi sedikit bagian dari ruang tamu. Ah, terlihatlah sudah bagaimana apatisnya aku pada uyut selama ini.
Aku dan kakakku
adalah cucu yang sangat dekat dengan nenek, 6 tahun di Bandung aku tidak pernah
jauh dari beliau. Ya selain karena aku menumpang di rumahnya, nenek juga mempercayakan manajemen kost-kostannya pada kami berdua.
Tapi, aku tidak begitu dekat dengan uyut. Aku sayang, sangat sayang. Tapi
sayang hanya sayangnya saja, tidak dibarengi dengan tindakannya. Uyut
sehari-hari lebih banyak diam di kamar, kadang orang rumah membantunya pindah
ke ruang TV. Bukan untuk nonton, melainkan menyadarkan
uyut bahwa ia masih hidup di alam fana, dimana anggota keluarganya masih hilir
mudik dan sibuk masing-masing.
Uyutku berumur 100 sekian tahun, di hari itu kala
ia meninggalkan kami, orang rumah saling berbeda pendapat tentang tahun berapa
uyut lahir. Beberapa kali juga nisan kayu ditulis ulang karena dianggap salah.
Dan aku hanya bisa terus menerus berpikir.. “Akankah
umurku sepanjang uyut?” “Kalau aku setua itu, pasti aku akan merepotkan orang
setiap hari” “Timbangan amal uyut kayak apa ya kalau waktu hidupnya panjang?”
“Pasti uyut seneng sekarang, gak susah makan atau susah ke air lagi”
Akhirnya, setiap pikiran di kepala berpangkal
pada apa kata hati, “Aku tidak ingin hidup setua itu” keluar sebagai kesimpulan
sekaligus doa. Aku tidak ingin terbaring sepanjang hari, merepotkan anak cucuku
yang mungkin merawat dengan terpaksa. Dua hal yang paling tidak aku sukai dalam
hidup ini sangat bisa terjadi di usia terlampau senja: hopeless dan helpless (tak
ada harapan dan tak berdaya).
Melihat uyut, aku menafakuri banyak hal yang
diwakili sebuah lirik lagu; muda sebelum tua, sehat sebelum sakit, kaya sebelum
miskin, lapang sebelum sempit, hidup sebelum mati. Ketika kita sangat tua,
fisik kita tidak bisa berkompromi untuk beribadah dengan benar. Sholat berdiri
tak mampu, sholat duduk pun kaku, jadinya berbaring lesu. Aku takut, aku takut
ketika tua nanti aku bukannya banyak menabung pahala malah mencicil dosa karna
ibadah tidak sempurna. Aku berdoa setulus hati untuk setiap kelalaian uyut di
hari-harinya, mungkin ada najis yang tertinggal, mungkin ada aurat yang
terlihat, semoga Allah senantiasa mengampuni semuanya. Doa dari keturunan
sholeh-sholehah adalah harta tak ternilai bagi setiap arwah, dan aku akan
selalu ingat untuk mendoakan uyut dan kedua kakekku di setiap kesempatan. Allohummagfirlahum Warhamhum Wa’afihi
Wa’fuanhum. Aamiin Wa Iyyahum.
Bandung, 26 Maret 2017
July 05, 2017
No komentar
Para movie geeks
pasti udah nonton dong film yang paling ditunggu di pertengahan tahun 2017 ini?
Yup, Wonder Woman. Film yang rilis pada tanggal 2 Juni 2017
di Amerika ini cukup menyita perhatian
lantaran peran utamanya dimainkan oleh cewek cantik mantan Miss Israel 2004, Gal Gadot. Gue pun yang seorang cewek mengakui kalo doi emang kelas
banget. Gak cuma pinter ngomong banyak bahasa, kharismatik, tampang ciamik
skala eksotik 9/10, Gadot juga punya postur tubuh yang bikin cewek-cewek envy
berat, kalo kata netizen namanya body goals. Selain Gadot, ada lagi nih pemeran
cewek yang berhasil bikin film jadi 'lebih'. Udah nonton The Mummy terbaru yang
ada Tom Cruise-nya belom? Nah yang jadi si mumi di film itu bisa tuh jadi
saingannya Gadot, cantik banget juga, namanya Sofia Boutella.
Tapi, gue gak
akan banyak ngomentarin para pemain cewek di sini, gue cuma mau komentarin
filmnya. Lagian si Inces Diana "Prince" alias Wonder Woman ini gak
usah dikomen juga udah banyak banget situs berita yang ngulas. So, menurut gue:
- Setiap film wajib punya bumbu-bumbu cinta, karena sesungguhnya setiap film bercerita pada garis kisah cinta (apaan dah?). Nah, kuncup-kuncup cinta yang tumbuh antara Diana (Gal Gadot) dan Steve Trevor (Chris Pine) ini cukup sweet dengan takaran gula yang pas. Untuk seukuran film superhero, emang jangan terlalu romantis. Ngobrol dikit langsung abisin. Ups. Pemilihan Chris Pine jadi lawan main Gadot juga cociks banget. Muka si cowok ini baby face banget dan kulitnya putih banget, mengimbangi Gadot yang mukanya garang plus kulit kecoklatan.
- Oke deh kalo pengen si penjahat gak ketebak sama sekali. Anda berhasil. Di pertengahan film gue meyakini si Dewa Perang Ares itu adalah Jenderal Ludendorff. Dan tapi fakta di lapangan menyebutkan Ares yanga asli adalah Sir Patrick, atasannya Steve yang notabene ngebantu mereka sampai ke medan perang. Gak ketebak kan! But u know what? Sir Patrick-nya itu menurut gue kurang gagah, terlalu tua untuk peran bertarung melibatkan petir dan bangkai-bangkai tanker. Kalo gak salah dia adalah aktor yang jadi Professor Remus Lupin di film Harry Potter and The Prisoner of Azkaban, di situ dia jadi animagus (siluman srigala). Mungkin karena perannya itu sekarang di Wonder Woman jadi dewa setengah manusia besi rongsok. Mukanya juga menurut gue sedikit lawak, dengan kumis baplang dan rambut gondrong waktu scene dia masih belom bangkit kayaknya kurang greget buat jadi dewa perang. Tapi sekali lagi, kalau maksudnya emang bener-bener pengen si penjahat gak ketebak, so it succeed.
- Adegan ketika Diana punya kesempatan ngebunuh Dr. Muri, lalu dia teringat kata-kata terakhir Steve yang sebelumnya gak bisa dia denger karena telinganya bindeng akibat kelempar jauh atau ledakan (gak ngerti juga gue kenapa anak Dewa Zeus bisa bindeng). Lalu Diana ngeluarin statement-statement tentang cinta, dan tiba-tiba setelah itu Ares teriak "LIES!!!" atau "BOHONG!!!". This one word of God's response is something, right? Abis scene itu gue sontak mikir, 'Ngapain dia teriak bohong? Kayak orang pacaran lagi berantem'. I mean if he's going to ignore every Diana's outburst, he rather be angry and scream "Arrrrgh!!" or "Rasakan ini!" or "Kau akan menyesali keputusanmu!!" or whatever than that.
- Di awal film, latar yang digunakan adalah London masa kini, lalu selang 3 menit kemudian berubah flashback ke masa ketika Diana kecil mulai berlatih bertarung. Gue pikir, flashbacknya bakal sebentar karena berawal dari lamunan, tahunya ampe akhir film disisain 3 menit juga setelah Diana selesai ngelamun. Jadi, menurut gue latar majunya kurang lama, terkesan dipaksakan karena mendadak ngelamun di depan komputer selama 2 jam gitu. Menurut gue juga lebih bagus kalau sedikit ada penjelasan Diana kerja apa dan tinggal di menara apa sebagai apa.
- Beberapa scene mengingatkan gue sama beberapa film. Contohnya waktu closing, efek tali emas yang melingkar-lingkar dan mencambuk itu mirip banget sama filmnya Jackie Chan yang Skiptrace. Terus pas adegan masuk kastil tempat gala Jenderal Ludendorff, mirip sama salah satu scene di film Sherlock Holmes. Dan ada beberapa adegan lagi yang gue lupa mirip sama film apa, tapi mirip. Mungkin emang setiap film ada unsur adaptifnya ya, guys.
- Diana, dilihat dari sisi mana pun, gak ada mirip-miripnya sama nyokap dan tantenya, Ratu Hippolyta dan Antiope. Diana berkulit sawo matang dan rambutnya hitam, nyokap sama tantenya jelas keturunan ras kulit putih dengan rambut pirang. Kalau pun Diana anak Dewa Zeus, lah Dewa Zeusnya aja kulit putih rambut cokelat. So I think Diana’s and aunt’s mom should be more manly or tan.
Overall, rating Wonder Woman 2017 menurut gue: 8/10.
June 19, 2017
No komentar
Tulisan kali ini akan menceritakan pengalaman pertamaku terjun ke dunia radio/broadcasting. Karena banyak orang yang nanya kenapa bisa? Kenapa mau? Gimana tuh awalnya? Dan aku mulai bosan mengulang jawaban-jawaban yang sama setiap kali.Awalnya, paling awal dari semua prosesnya, adalah menjadi penyiar radio merupakan keinginanku sejak SMA. Dulu beberapa temen SMA-ku ada yang jadi MJ (Music Jockey) di radio swasta bergenre anak muda di Tasikmalaya, tapi waktu itu aku belum berani ikutan, dan lagi orangtua kurang setuju aku membagi waktu sekolah dengan kegiatan lain. Akhirnya, keinginan itu dipending sampai aku habis SKS kuliah tahun lalu.Sekitar bulan November tahun 2016 ketika aku sedang disibukkan dengan persiapan sidang skripsi dan urusan administrasi kampus lainnya, aku melihat postingan komunitas Psikologua tentang event seminar public speaking yang akan mereka adakan di Auditorium RRI Bandung dalam waktu dekat. Saat itu aku pikir presentasi Tugas Akhirku akan lebih bagus kalau aku setidaknya punya ilmu tentang public speaking. Singkat cerita, setelah mempelajari detail acaranya dan melakukan registrasi via aplikasi Eventbrite dimana aku melihat postingan itu, aku datang ke Auditorium RRI pada hari dan jam yang ditentukan. Ternyata, event itu memang bekerjasama dengan RRI PRO2, salah satu program di RRI yang diperuntukkan khusus untuk pendengar remaja. Jadi di RRI itu ada PRO1, PRO2, PRO3 dan PRO4, dimana masing-masingnya punya frekuensi gelombang yang berbeda dan segmentasi pendengar yang berbeda-beda juga.Di akhir acara seminar public speaking itu, salah satu pimpinan PRO2, yang sekarang aku kenal beliau sebagai Kang Roy Wijaya, mengumumkan bahwa RRI membuka sekolah penyiaran yang terdiri dari kelas free (gratis) dan reguler setiap hari Sabtu dan Minggu. Seolah gayung bersambut, aku pun menyimpan kontak Kang Rio (salah satu penyiar yang sekarang udah jadi Music Director PRO2) untuk menanyakan pendaftaran sekolah penyiar yang dinamai PRO2 Announcer School itu lebih lanjut.Minggu pagi di tanggal 1 Januari, ketika aku duduk berkontemplasi sambil menyesap green tea latte panas sehabis mandi, aku berpikir tentang resolusi-resolusi yang ingin aku capai di tahun 2017 ini. Apakah aku akan kembali merencanakan pembangunan pelabuhan? Apakah aku akan mulai menulis novel? Kapan aku akan serius mendaftar kursus jahit dan les nyetir? Kapan aku menuruti keinginan mami untuk masuk pesantren sebelum menikah? Aku terus berpikir, mencerna banyak hal dan membayangkan semua kemungkinan yang bisa terjadi sebagai konsekuensi dari sebuah keputusan. Tiba-tiba aku teringat kontak WhatsApp penyiar RRI yang kusimpan, tanpa pikir panjang aku meraih ponselku dan mendaftarkan diri di PRO2 Announcer Shcool. Sejak hari itu, aku bertekad tahun 2017 harus banyak mendapat hal baru dan mencoba dunia baru yang aku tidak pernah tahu aku bisa ada di dalamnya..Dua bulan berlalu di kelas free PRO2 Announcer School, aku memutuskan mengikuti paket kelas reguler yang hanya diikuti 8 orang siswa di batch ke sekian itu. Kelas reguler hanya 3 kali pertemuan, dan sekarang aku sudah lulus. Ternyata, alumni PRO2 Announcer School RRI sudah ratusan lho, dan tersebar di banyak radio swasta bahkan stasiun TV lokal dan Nasional. Sekarang, kalau mau ngelamar jadi penyiar radio atau presenter TV, aku punya sertifikat dan CD sample voice suaraku sendiri yang dapat diperhitungkan. Aku bersyukur bisa sampai ke tahap ini, bersyukur karena ternyata aku punya bakat dalam berbicara, bersyukur bertemu orang-orang yang jauh berbeda dengan yang kutemui biasanya, bersyukur pada banyak hal yang tak akan pernah habis jika dirinci, dan akan semakin banyak hal yang patut disyukuri jika dicermati.Aku sangat mencintai keseimbangan. Dan disinilah aku sekarang.. rutin siaran, sambil tetap memutuskan jadi tim ahli pembangunan pelabuhan, satu tulisanku sedang proses penerbitan menjadi buku antologi, belajar startup dari online shopku yang cukup berkembang, tidak melewatkan muaythai setiap Senin pagi, dan meskipun belum siap meluangkan waktu sebulan penuh untuk pesantren tapi kajian Kamis malam masuk ke dalam agenda prioritasku. Aku sekuat tenaga meraih apapun yang ingin kuraih, tapi aku tidak berkenan menuliskan cerita pilu dan sulitnya sebuah pencapaian. Orang di luar sana menghargai kita dari hasil, mengabaikan jerih payah dan kepayahan kita. Aku berusaha tidak mengeluh, apalagi kalau harus dibaca orang. Apa yang aku dapat saat ini tidak ada satu pun yang mudah. Jika ada yang berkata aku punya faktor ‘luck’, mungkin itu benar, tapi mereka tidak tahu juga dari serangkaian kemudahan ini ada sisi lain yang sulitnya menggelayutiku kemanapun kakiku melangkah. Kau tahu apa itu? Kuliah. Ya, Allah menyeimbangkan hidupku juga dengan cara-Nya, ketika banyak hal di luar kampus bisa kugapai, justru proses yang tinggal sebulir di ujung daun itu tak kunjung selesai. Transisi kebijakan memukul mundur semangatku, membiaskan rona baru pada warna hidup yang sudah ramai. Dan tapi ketika aku ikhlas, tersadar semuanya adalah ujian agar menjadi ikhsan.“Kita tidak boleh pelit ilmu, ilmu yang diajarkan pada orang lain adalah sedekah jariyah untuk bekal kita mati.” kata mentor-mentorku disetiap kesempatan. Aku masih sangat baru, tapi aku tak akan menimbun ilmu di kepalaku. Kalau yang baca tulisan ini ingin juga jadi penyiar radio, datang saja langsung ke Jl. Diponegoro. Biasanya kalau belum kenal suka malu, email saja dulu: ismahanifa18@gmail.com. I am available everytime to share everyting about public speaking and broadcasting, or maybe about writing and how to reach publishing, or even about city designing and harbor planning? You choose.
P.S: “Sekali di Udara Tetap di Udara” itu mottonya RRI, kenapa aku bangga banget menjadi bagian dari RRI dan gak berminat ngelamar jadi penyiar di radio lain? Tunggu tulisan selanjutnya, ya!
April 01, 2017
No komentar
New York 3 jam lebih awal dari California, tapi tidak berarti California lambat, atau New York cepat. Keduanya bekerja sesuai "Zona Waktu"nya masing-masing. Seseorang masih sendiri. Seseorang menikah dan menunggu 10 tahun untuk memiliki momongan. Ada juga yang memiliki momongan dalam setahun usia pernikahannya. Seseorang lulus kuliah di usia 22 tahun, tapi menunggu 5 tahun untuk mendapatkan pekerjaan tetap; yang lainnya lulus di usia 27 tahun dan langsung bekerja. Seseorang menjadi CEO di usia 25 dan meninggal di usia 50 saat yang lain menjadi CEO di usia 50 dan hidup hingga usia 90 tahun. Setiap orang bekerja sesuai "Zona Waktu"-nya masing-masing. Seseorang bisa mencapai banyak hal dengan kecepatannya masing-masing. Bekerjalah sesuai "Zona Waktu"-mu. Kolegamu, teman-teman, adik kelasmu mungkin 'tampak' lebih maju. Mungkin yang lainnya 'tampak' di belakangmu. Setiap orang di dunia ini berlari di perlombaannya sendiri, jalurnya sendiri, dalam waktunya masing-masing. Allah punya rencana berbeda untuk masing-masing orang. Waktu berbeda untuk setiap orang. Barack Obama pensiun dari presiden di usianya yang ke-55, dan Donald Trump maju di usianya yang ke70. Jangan iri kepada mereka atau mengejeknya.. Itu "Zona Waktu" mereka. Kamu pun berada di "Zona Waktu"-mu sendiri! Kamu tidak terlambat. Kamu tidak lebih cepat. Kamu sangat sangat tepat waktu! Tetaplah kejar keberkahan Allah.. Agar sampai pada muara kebahagiaan di surga-Nya.. Kamu di "Zona Waktu"-mu! Semoga Allah selalu Ridho dengan segala aktivitas kita.
Tulisan di atas dikirim oleh adik tingkat gue di kampus, Riska namanya. Sebenernya gue pernah baca sekilas tulisan tentang zona waktu ini, tapi entah karena dia ngasihnya direct buat menyemangati gue lewat chat LINE tempo hari, jadinya pas baca lagi lebih menyentuh aja, haha. Lalu gue re-post tulisan ini ke blog sebagai simbolisasi rasa terima kasih gue pada siapapun yang selalu menyemangati dan mensupport gue setiap waktu.
March 10, 2017
No komentar
Popular Posts
-
Beberapa minggu lalu, aku nonton sebuah film drama Taiwan bergenre roman (Taiwanese Romance) yang judulnya You Are The Apple of My Eye, wak...
-
D alam menggelar acara lamaran, setiap pasangan berhak membuatnya semewah mungkin, atau semeriah mungkin, namun khusus acara lamaranku,...
-
He is finally here.. I’m finally become a mom.. My husband and I will start a new life as a parents from now on.. Kami melalui perja...